ABSTRAK
Berjalan kaki merupakan perekat bagi sistem pergerakan. Kebutuhan fasilitas pejalan kaki di kawasan perkotaan semakin meningkat tetapi jumlah luasan kawasan/jalur pejalan kaki itu sendiri semakin menurun. Kawasan kota lama merupakan salah satu distrik yang didesain dengan mengutamakan elemen pejalan kaki. Sangat disayangkan fasilitas ini akhirnya banyak yang hilang akibat tuntutan modernisasi yang lebih mengutamakan kendaraan bermotor. Kawasan Pecinan Semarang merupakan salah satu kawasan lama dengan beragam potensi yang mendukung pengembangan aktivitas ini. Potensi yang ada diantaranya skala fisik kota yang manusiawa, potensi arsitektural bangunan dan aktivitas kawasan. Potensi ini kurang berkembang akibat beragam masalah yang timbul akibat perkembangan aktivitas kawasn. Studi ini akan membahas bagaimana mengembalikan jalur pejalan kaki yang nyaman di kawasan Pecinan Semarang dengan membatasi/memperkecil permasalahan yang ada dan memanfaatkan potensi kawasan sebagai pendukung aktivitas pejalan kaki.
Kata Kunci: Pengembangan dan jalur pejalan kaki yang ramah.
ABSTRACT
The needed of pedestrian facility in the down town district is increase but the total area of this facility is decrease. Old city district is the one of districts in down town, which has been designed with pedestrian way as main element. Unfortunately these facilities have disappear because of modernization need (this vacility have been replacing by automobile facility). Chinese district in Semarang have many potencies, which can support the development of pedestrian activity. Those potencies are including of architectural building/district, road form, townscape, and the retail activity. Lately those potencies become worse because many problems have appeared as the impact of district activity. This study will discus about how to develop pedestrian way in Chinese district as pedestrian Friendly Street.
Key words: Development and pedestrian friendly street.
PENGEMBANGAN JALUR PEJALAN KAKI YANG RAMAH (MANUSIAWI):
STUDI KASUS KAWASAN PECINAN SEMARANG
PEDESTRIAN FRIENDLY STREETS DEVELOPMENT: CASE STUDY CHINESE DISTRICT IN SEMARANG
JAMILLA KAUTSARY12)
ABSTRAK
Berjalan kaki merupakan perekat bagi sistem pergerakan. Kebutuhan fasilitas pejalan kaki di kawasan perkotaan semakin meningkat tetapi jumlah luasan kawasan/jalur pejalan kaki itu sendiri semakin menurun. Kawasan kota lama merupakan salah satu distrik yang didesain dengan mengutamakan elemen pejalan kaki. Sangat disayangkan fasilitas ini akhirnya banyak yang hilang akibat tuntutan modernisasi yang lebih mengutamakan kendaraan bermotor. Kawasan Pecinan Semarang merupakan salah satu kawasan lama dengan beragam potensi yang mendukung pengembangan aktivitas ini. Potensi yang ada diantaranya skala fisik kota yang manusiawa, potensi arsitektural bangunan dan aktivitas kawasan. Potensi ini kurang berkembang akibat beragam masalah yang timbul akibat perkembangan aktivitas kawasn. Studi ini akan membahas bagaimana mengembalikan jalur pejalan kaki yang nyaman di kawasan Pecinan Semarang dengan membatasi/memperkecil permasalahan yang ada dan memanfaatkan potensi kawasan sebagai pendukung aktivitas pejalan kaki.
Kata Kunci: Pengembangan dan jalur pejalan kaki yang ramah.
ABSTRACT
The needed of pedestrian facility in the down town district is increase but the total area of this facility is decrease. Old city district is the one of districts in down town, which has been designed with pedestrian way as main element. Unfortunately these facilities have disappear because of modernization need (this vacility have been replacing by automobile facility). Chinese district in Semarang have many potencies, which can support the development of pedestrian activity. Those potencies are including of architectural building/district, road form, townscape, and the retail activity. Lately those potencies become worse because many problems have appeared as the impact of district activity. This study will discus about how to develop pedestrian way in Chinese district as pedestrian Friendly Street.
Key words: Development and pedestrian friendly street.
I. LATAR BELAKANG
Kita semua berhak atas system transportasi yang lebih aman, lebih efisien, lebih terjangkau, lebih bersih, lebih sehat dan lebih ramah (The Sustran Network, 2002). Berjalan kaki juga merupakan perekat bagi system trasportasi. Setiap perjalanan pasti termasuk berjalan kaki. Kebutuhan ruang untuk pejalan dan ruang terbuka untuk aktivitas sirkulasi, rekreasi dan sosial di perkotaan semakin meningkat, tetapi secara jumlah/luasan semakin menurun dengan bertambahnya investasi dalam bentuk bangunan (M. Tri Hesti M, 1999).
Jalur pejalan kaki (pedestrian ways) dalam perancangan kota merupakan elemen penting. Perencanaan jalur pejalan kaki tidak hanya merupakan upaya peningkatan kualitas visual. Lebih dari itu elemen pejalan kaki yang nyaman merupakan elemen pendukung retail dan vitalitas kota. Sistem pejalan kaki yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan, meningkatkan perjalanan, meningkatkan kulitas fisik visual kota dengan pertimbangan skala manusia, menciptakan lebih banyak aktivitas retail dan akhirnya akan membantu peningkatan reproduktivitas sosial budaya dan ekonomi (Shirvani, 1985 dan Marco, 2003).
Perubahan lain yang membawa dampak negatif terhadap kenikmatan jalur pejalan kaki adalah kendaraan bermotor. Desakan ‘memodernisir’ kota mengakomodasikan kebutuhan kendaraan bermotor lebih baik daripada pejalan kaki, sehingga akses yang mudah dan tempat penyimpanan kendaraan menjadi prioritas penting. Akibatnya banyak kenikmatan tempat pejalan kaki yang pernah dimiliki banyak kota dikorbankan bagi kendaraan. Perubahan yang didasari oleh alasan ekonomis dan modernitas ini hanya akan merusak kenikmatan kota (Catenese, 1986).
Tulisan ini akan membahas bagaimana menciptakan satu bentuk fasilitas pejalan kaki yang ramah (nyaman) sesuai dengan teori pedestrian ways, perancangan kota dan kenikmatan kota, kawasan Pecinan dan Kota Lama di Kota Semarang.
II. KAJIAN TEORI
2.1 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), merupakan bagian dari sistem sirkulasi perkotaan secara keseluruhan yang sekaligus merupakan elemen penting dalam perancangan kota. Adanya jalur pedestrian membuat kota tidak hanya berorientasi pada keindahan semata, karena kenyamanan merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan pedestrian ways. Di dalam jalur pejalan kaki yang ramah, aktivitas penggunaan lahan di desain dan diaransemen dalam kontek bahwa pelaku perjalanan dengan jalan kaki lebih diutamakan/ditekankan. Penciptaan lingkungan pejalan kaki harus selalu memperhatikan skala manusia dan proporsi ruang yang digunakan oleh manusia (FHWA-US, 2000).
Faktor yang melatar belakangi orang untuk berjalan kaki sangat beragam dan sulit untuk didefinisikan secara singkat. Biasanya terfokus pada aktivitas rekresi yang berkaitan dengan kenyamanan lingkungan pejalan kaki. Adanya trend masyarakat kota berjalan kaki dari tempat parkir ke tempat beraktivitas, atau dari tempat aktivitas ke halte/selter untuk mencari angkutan umum, menyebabkan peran fasilitas ini berkembang.
Sistem jaringan pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan penduduk kota terhadap kendaraan, meningkatkan kualitas lingkungan, serta mampu menciptakan kegiatan pendukung perkotaan. Issu kunci yang melatar belakangi perancangan sistem pedestrian adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan jalur pedestrian dengan fasilitas kendaraan bermotor. Kondisi ini akan menciptakan suasana kota menjadi lebih hidup dengan ruang-ruan publik yang menarik, namun dalam waktu yang bersamaan dapat dijalin hubungan yang baik antara kegiatan tersebut dengan kegiatan pelayanan umum dan fasilitas yang dimiliki oleh masyarakat secara indifidual (Edy D, 2003)
Jenis jalur pedestrian yang berkembang akhir-akhir antara lain berupa mal pedestrian (pedestrian mall). Mal merupakan bentuk jalan atau plasa di kawasan pusat bisnis yang berorientasi pada pola pedestrian area sebagai ruang transit atau ruang milik umum yang bersifat terbuka. Harvey Rubenstein (1992) membagi mal menjadi 3 tipe. Mal penuh (full mall). Mal penuh ini memiliki karakteistik utama jalan tertutup untuk semua kendaraan dan kawasan dibuat senyaman munkin untuk berbelanja dan berekreasi (Gambar 2.1). Mal transit (transit mall) hanya kendaraan umum, darurat dan kendaraan service yang bisa masuk dengan lebar jalan yang lebih karena kendaraan bisa masuk (Gambar 2.2). Setengah mal (semi mall) yang hanya dibuat dengan mengurangi kapasitas kecepatan kendaraan dan parkir tanpa perlu menutup jalan (Gambar 2.3).
Beberapa faktor utama yang digunakan untuk untuk menentukan/membedakan 3 tipe mal tersebut adalah (Edy Darmawan, 2003) adalah faktor budaya (culture), alam (natural),social ekonomi (socioeconomic) serta faktor politik, dana dan legalitas (political, funding and legal factor).
GAMBAR 2.1
FULL PEDESTRIAN MALL
GAMBAR 2.3
SEMI PEDESTRIAN MALL
2.2. Perancangan Kota
Perancangan kota merupakan bagian dari rangkaian perencanaan kota yang telah ada. Perancangan kota menyangkut segi tampilan fisik kota yang menata bentuk, tatanan, dan estetika lingkungan secara satu-kesatuan terpadu antara lingkungan fisik, kehidupan, dan manusianya (Sujarto, 1994).
Secara ideal, perancangan kota merupakan suatu jembatan antara perencana kota dan para arsitek guna mempermudah pencapaian kualitas arsitektur kota seperti yang dikehendaki. Tujuan perancangan kota adalah mewujudkan bentuk terbaik dari seluruh lingkungan kota (lingkungan binaan yang dapat mewadai keinginan pemerintah, swasta serta masyarakat baik dari segi fungsi dan estetik arsitektur kota).
Tujuan arsitektur kota adalah perwujud fisik dan kesan visual. Elemen arsitektur perkotaan adalah eleman fisik dan visual. Elemen-elemen ini meliputi: keadaan geografis dan klimatologis, tata guna lahan dan ruang kota, infrastruktur, bentuk dan masa bangunan, sirkulasi, ruang terbuka, pedestrian way, kegiatan/aktivitas penunjang, tanda khas sebagai advertensi kawasan, serta konservasi bangunan, kawasan dan lingkungan. Secara menyeluruh elemen-elemen ini akan tampil dalam wujud tiga dimensi. Pada akhirnya, tatanan ini akan menentukan citra kota yang spesifik dan menunjukkan karakter kawasan yang bersang-kutan (Sastrawan, 1992:22).
Sehubungan dengan penataan elemem-elemen di atas, maka substansi yang terlingkup dalam perancangan kota adalah (Sujarto, 1994):
• Hubungan fungsional dan perwujudan antara ruang dan massa bangunan dan bangunan, antar massa bangunan, antara masa bangunan dan jaringan pergerakan, serta antara masa bangunan dengan lingkungan sekitar;
• Penataan keserasian antara pola kehidupan masyarakat dengan dengan lingkungan fisik kota dan kegiatan usahanya;
• Fungsi dan tampilan unsur-unsur penunjang kawasan fungsional seperti kelengkapan jalan, rambu-rambu dan petunjuk, papan reklame dan nama kawasan, berbagai unsur tipikal kota, peletakan unsur-unsur bernialai sejarah/seni, monumen, tetenger, ornamen dan pewarnaan;
• Penataan keserasian fungsi dengan unsur-unsur jaringan pergerakan, yaitu antara kepentingan pejalan kaki, kendaraan bermotor dan kendaraan tak bermotor;
• Penataan jaringan utilitas kota, jalur pemeliharaan, dan pengaman;
• Penataan jaringan hijauan kota sebagai pengindah, unsur preservasi/konservasi kawasan;
• Penciptaan unsur-unsur alami-maupun binaan, yang menjadi identitas kota.
III. POTENSI DAN MASALAH JALUR PEJALAN KAKI DI KAWASAN PECINAN SEMARANG
Berjalan kaki merupakan penyambung bagi sistem transport. Setiap perjalanan pasti termasuk berjalan kaki. Perbaikan fasilitas dan karakteristik perjalanan merupakan salah satu tujuan dari perencanaan fasilitas pejalan kaki. Pendekatan yang digunakan untuk perbaikan atau peningktan fasilitas tersebut biasanya dengan memisahkan pejalan kaki dengan arus lalu lintas kendaraan, baik dari segi ruang dan waktu.
Berjalan kaki dapat meningkatkan kepedulian social masyarakat terhadap lingkungan dan sesama. Dengan berjalan kaki, kita dapat merasasalan lingkungan secara langsung, apakah lingkungan itu nyaman, aman, bersih dan indah. Berkajan kaki juga meningkatkan intensitas orang untuk untuk saling menghargai dan bertegur sapa antar sesama. Kegiatan berjalan kaki di dalam perkotaan ini tidak hanya meningkatkan produktivitas ekonomi tetapi juga produktivitas social
Besaran kebutuhan ruang untuk kendaraan dan pejalan kaki adalah tidak sama. Kebanyakan kota lama dalam sejarah, tumbuh disekitar transpot pejalan kaki sebagai sistem pergerakan utama. Jarak antar aktivitas dan skala kota dibentuk sesuai dengan kebutuhan kenyamanan pejalan kaki. Desakan ‘memodernisir’ kota mengakomodasikan kebutuhan kendaraan bermotor lebih baik daripada pejalan kaki, sehingga akses yang mudah dan tempat penyimpanan kendaraan menjadi prioritas penting. Skala baru yang diterapkan untuk kendaraan bermotor di atas tentu menyulitkan pejalan kaki. Orang sulit untuk melihat suatu lingkungan untuk pejalan kaki harus berada bersama dengan lingkungan untuk kendaraan bermotor.
Kawasan Peciman merupakan salah satu kawasan lama di Kota Semarang memiliki fungsi utama sebagai pusat perdagangan eceran (retail). Pergeseran aktivitas bisnis ke arah pusat kota baru tidak berpengaruh besar pada aktivitas di kawasan ini. Sebagai bagian kawasan lama, kawasan retail ini pada awalnya didesain dengan jalur pejalan kaki/trotoar sebagai sistem pergerakan utama. Jarak antar aktivitas dan skala kota didesain sesuai kebutuhan kenyamanan pejalan kaki. Selain itu kawasan ini mempunyai beberapa potensi yang terlupakan oleh kalangan ahli perencana kota, pemkot, maupun kalangan akademisi dan masyarakat. Potensi tersebut adalah potensi sejarah (bagian dari urban heritage Kota Semarang), letak dan kedudukan kawasan yang strategis, fungsi dan aktivitas kota, image kawasan, fisik visual wajah kota yang spesifik, unik dan menarik mengingat kawasan ini tumbuh dan berkembang dari multi etnis.
Sangat disayangkan desakan ekonomi telah menghancurkan kenikmatan kota yang ada. Hilangnya kenikmatan kota tersebut tidak jauh berbeda dengan kawasan pejalan kaki di pusat kota yang lain. Masalaah kemacetan, jalur pejalan kaki penuh lubang/rusak berat, terlalu sempit dan tanpa peneduh, pengaturan parkir semrawut bahkan memanfaatkan badan trotoar serta tidak tertatanya pedagang kaki lima, serta aktivitas bongkar muat barang dan beragam aktivitas marginal juga sangat menggangu. Akibatnya, kenikmatan pergerakan pejalan kaki yang nyaman, yang pernah dimiliki oleh Kawasan Pecinan ini telah dikorbankan bagi kendaraan bermotor.
Kodisi tersebut di atas bila dibiarkan akan berdampak lebih buruk bagi kawasan, seperti semakin besarnya business flight dan residential flight, penurunan kualitas fisik visual (kemunduran struktur), serta menurunnya nilai properti yang mempercepat kematian kawasan. Pada akhirnya hal ini akan menjadikan kawasan sebagai daerah pergudangan dan daerah tak bertuan yang memberikan peluang besar bagi terciptanya kawasan kumuh dan meningkatnya jumlah kerawanan sosial.
3.1. Potensi Pengambangan Jalur Pejalan Kawasan Pecinan
Sebagai salah satu kawasan lama di Kota Semarang Kawasan Pecinan ini memiliki banyak potensi baik arsitektural, atraksi budayaan keragaman aktivitas berkaitan erat dengan aktivita berjalan kaki. Secara umum Potensi dan permasalahan yang ditemui di kawasan studi adalah sebagai berikut:
1. Potensi ruang terbuka publik yang terkait dengan sistem aktivitas pejalan kaki yang dapat dikenali di Kawasan Pecinan hanya berupa jalan (streets) baik tempat pejalan kaki (pedestrian sidewalks), jalan non lalin (traffic restricted street), dan gang/jalan kecil (town trails), ruang terbuka untuk masyarakat (community open space): taman/lapangan umum (community garden/park), serta ruang tebuka air dengan jalur hijau di jalan inspeksi.
2. Hal-hal spesifik, unik, dan artistik yang bisa dikenali dan digali dari ruang terbuka Pecinan dan bisa dikembangkan sebagai obyek wisata arsitektural untuk mendukung pengembangan aktivitas pejalan kaki diantaranya adalah:
• Struktur morfologi kawasan yang masih mempertahankan bentuk morfologi Kota Cina;
• Langgam dan bentuk arsitektur kota yang bervariasi, sebagai produk adopsi yang disertai adaptasi dengan iklim tropis Indonesia, yang nemumbuhkan image kawasan sebagai Kawasan Pecinan;
• Struktur morfologi kota yang menampakkan bentuk yang organik, tepatnya grid yang organik yang unik;
• Tipe urban solids kawasan yang berupa edges-defining building;
• Tiga tipe urban voids Kawasan Pecinan yang artistik, berupa the entry foyer, the inner block void, public park and garden;
• Elemen-elemen townscape kawasan studi yang berupa elemen-elemen dari kategori junction, line, width, overhead, containment maupun features;
TABEL III.1
POTENSI ROAD FORM DAN TOWNSCAPE DI KAWASAN PECINAN SEMARANG
Sumber: Data Primer 2002
3. Keragaman aktivitas pendukung yang spesifik (khas Kawasan Pecinan) seperti perayaan Sampo Tai Jin pada bulan Juli.
4. Potensi rute pejalan kaki terbaik sesuai dengan temuan studi dari analisis sebelumnya, baik potensi ruang terbuka maupun sebaran pola kativitas di Kawasan Pecian, untuk mendukung aktivitas pejalan kaki maupun wisata arsitektural adalah:
• Menelusuri sepanjang Jalan Inspeksi dari sisi Pasar Johar atau lewat Jalan Pedamaran dan menerobos Gang Buntu Pedamaran menuju curve di Jalan Ispeksi, berhenti di kawasan Klenteng Gang Lombok (Tay Kak Sie) dan berjalan sampai ke elemen enticing dan multiple views Petudungan, menyeberang sungai dan diteruskan dengan menyelusuri Gang Pinggir sampai ke Klenteng Kwee, menembus Gang Besen menuju Gang Warung;
• Melalui Petudungan atau Kampung Kulitan dari jalam Mataram, menuju Y-Junction ke arah Pokojan, menelusuri Gang Warung, Gang Besen dengan dukungan elemen the arch, framing, dan dan eyechater Klenteng Kwee menuju Gang Pinggir, Gang Gambiran dengan façade yang artistik dan elemen widening/narrowing, Gang Belakang, Gang Tengah, Gang Pasar Baru, Bang Baru dengan narrowing karena aktivitas pasar, dan berakhir di Punctuation di ujung Gang Warung.
3.2 Permasalahan Pengembangan Jalur Pedestrian di Kawasan Pecinan
Permasalah yang ada, berkaitan dengan upaya pengembangan jalur dan aktivitas pejalan kaki ini antara lain:
1. Problem sosial budaya. Problem ini berkaitan dengan:
• Pejalan kaki selalu membutuhkan berjalan pintas dan mereka benci jalur memutar. Penyebrangan di atas tanah jauh bagi pejalan kaki lebih baik dari pada terowongan maupun jembatan Kebiasaan masyarakat kita yang malas berjalan agak jauh, sehingga sering memparkir kendaraan di depan tempat tujuan. Kondisi ini menyebabkan banyak jalur pejalan kaki yang disalah gunakan untuk parkir. Jalur terburuk dalam hal penyalah gunaan jalur pejalan kaki di kawasan studi berada di jalur Gang warung, dan Gang Pinggir. Selain karena hal di atas, jalur pejalan kaki ini kebanyakan juga dimafaatkan untuk menempatkan barang dagangan dari toko-toko yang berbatasan;
• Kebiasaan sektor marjinal perkotaan yang melakukan aktivitas di tempat keramaian tertentu (sektor ikutan). Sebagai sektor ikutan, sektor ini kebanyakan menggunakan daerah jalur pejalan kaki/trotoar untuk berjualan. Kondisi ini tentu semakin memperbanyak halangan bagi pelaku pejalan kaki, untuk melintas dari tempat asal ke arah tujuan. Tidak jarang pejalan kaki harus nail turun jalur pejalan kaki untuk menghindari halangan tersebut. Akibatnya pejalan kaki harus menggunakan jalur kendaraan bermotor, yang sebenarnya sangat rawan
2. Problem ekonom perkotaan. Kecenderungan penekanan pembangunan pada ekonomi, telah mengakibatkan munculnya anggapan penyediaan fasilitas ini bagi pemilik modal tidak memberikan keuntungan secara ekonomis, sedang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan masih sangat kecil demikian juga dengan kemampuan pembiayaan pemerintah kota.
3. Problem perancangan dan arsitektur kota:
• Ditinjau dari sisi perancangan kota dan arsitektur kota kondidi jalur pejalan kaki sebenuhnya belum mengacu pada tujuan perancangan maupun arrsitektur kota. Tujuan perancangan kota adalah mewujudkan bentuk terbaik dari seluruh lingkungan kota (lingkungan binaan yang dapat mewadai keinginan pemerintah, swasta serta masyarakat baik dari segi fungsi dan estetik arsitektur kota). Di kawasan studi jalur pejalan kaki yang ada memiliki lebar tidak lebih dari 1 meter. Jalur ini kebanyakan terpotong oleh ramp dari toko-toko atau bangunan yang berbatasan langsung dengan dengan jalur pejalan kaki. Sehingga desain jalur yang dipertinggi (ada perbedaan tinggi dengan jalur kendaraan bermotor) tetap saja bermasalah/mengganggu kelancaran pejalan kaki.
• Ruang yang disediakan bagi pejalan kaki secara umum belum mampu mewadai perjalanan yang nyaman, aktivitas sosial dan rekreasi, baik sebagai generator penggerak aktivitas kawasan dari dalam, tempat bersosialisasi, kesinambungan perpetakan, sebagai pembagi/ penyalurkan kegiatan keseluruh kawasan, serta memperkaya tema kawasan. Sebagai fungsi rekreasi dan sosial, ruang pejalan kaki sebagai ruang publik belum memiliki unsur keindahan dan keyamanan.
• Jalur yang ada belum mampu menghubungkan dua pusat aktivitas atau lebih, dan penyebaranya tidak merata. Aktivitas pendukung belum mampu berperan sebagai penyambung dialok antar bagian kawasa.
• Penataan keserasian fungsi dengan unsur-unsur jaringan pergerakan, yaitu antara kepentingan pejalan kaki, kendaraan bermotor dan kendaraan tak bermotor belum diperhatikan sama sekali.
4. Problem teknologi dan sumber daya. Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah kemampuan SDM kita masih rendah dalam dalam penguasaan teknologi yang perencanaan, perancangan, pengelolaan maupun pemeliharaan jalur pejalan kaki. Jalur pejaalan kaki kebanyakan menjadi satu dengan jalur pemiliharaan utilitas kota, masalah gali lubang tutup lubang masih sangat berpengaruh, karena penentuan titik masalah dalam jaringan tidak bisa dideteksi secara pasti.
5. Problem hukum dan peraturan pemerintah. Piranti hukum dan peraturan yang ada berkaitan pemanfaatan jalur pejalan kaki namun masih terdapat kelemahan pada faktor lingkup, sangsi, pengawasan, dan evaluasi.
IV. Saran terhadap Upaya Membangun Jalur Pejalan Kaki yang Ramah
A. Saran terhadap Pengembangan Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki, ruang terbuka dan tata hijau sangat terkait dengan sirkulasi, transportasi dan pola penggunaan ruang kota. Penggabungan kepentingan pelaku melalui perancangan kota akan menghasilkan sistem kota yang baik. Tanpa penggabungan kepentingan tersebut kawasan Pecinan akan terisolasi dengan pertumbuhan aktivitas kota. Beberapa saran berkenaan dengan uraian di atas, dalam upaya pengembangan jalur pejalan kaki di Kawasan Pecinan:
• Upaya pengembangan jalur pejalan kaki hendaknya terkait dengan sistem sirkulasi dan aktivitas perkotaan sekitar, agar kawasan lama (khususnya Kawasan Pecinan) tidak terisolasi dengan kawasan sekitar. Upaya ini untuk kawasan studi dapat di dukung dengan pola pengembangan Transport Oriented Development (TOD) dengan memanfaatkan titik transit yang ada, seperti di Bunderan Bubakan dan Sub Terminal Angkutan Kota Pasar Johar;
• Teori jalur pejalan kaki (pedestrian ways) dan ruang terbuka yang lahir di Negara Barat sangat dipengaruhi oleh budaya dan iklim setempat. Teori ini tidak dapat diodopsi secara langsung tetapi masih memungkinkan adanya adaptasi. Penerapan teori jalur pejalan kaki di Kawasan Pecinan Semarang memerlukan penyesuaian khusus, misal diperlukan banyak unsur tata hijau, atau arcade sebagai pelindung pejalan kaki. Pengembangan arcade dapat dilakukan khususnya di sepanjang jalan yang saat ini sudah terdapat elemen overhang.
B. Saran terhadap Pengembangan Aktivitas Penunjang
Guna mewujudkan pola pemanfaatan jalur pejalan kaki yang optimum, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan aktivitas penunjang di Kawasan Pecinan:
1. Perlu adanya koordinasi antara perencanaan kegiatan (khususnya aktivitas pendukung) dengan lingkungan binaan (jalur pejalan kaki) yang dirancang sebagai wadahnya. Hal ini dimaksudkan agar aktivitas yang dikembangkan mampu mempertajam citra kawasan yang telah terbentuk;
2. Perlu adanya integrasi dan koordinasi antara aktivitas formal (aktivitas dalam gedung) dan aktivitas informal/penunjang (aktivitas ruang luar) dan koordinasi antara aktivitas penunjang yang akan dikembangkan dengan fungsi dan aktivitas yang telah ada sebelumnya di Kawasan Pecinan;
3. Perlu adanya upaya peningkatan keragaman (jenis) dan intensitas kegiatan aktivitas penunjang yang dihadirkan di Kawasan Pecinan. Upaya ini dimaksudkan untuk menciptakan pola aktivitas ruang luar agar mampu mendukung kehidupan kawasan dari dalam selama 24 jam;
4. Perlu adanya manejemen aktivitas (baik pengaturan atai desain pola sebaran/peletakan, maupun pergantian jam/waktu berdasarkan jenis aktivitas pendukung). Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dapat optimal dalam arti fungsi ruang akan dapat bergantian sesuai dengan kegiatan formal yang didukung. Manajemen waktu yang baik akan menciptakan pemanfaatan jalur pejalan kaki yang optimum;
5. Peletakan aktivitas hendaknya sesuai dengan karakter ruang yang mewadai, seperti:
Lokasi perdagangan informal yang menjual suvenir khas cina (seperti barang-barang yang berkaitan dengan upacara Tradisional/Kebudayaan Cina) tetap di sekitas Klenteng Gang Lombok;
Penjualan makanan jajanan umum (bakso, mie ayam, gado-gado, lumpia, roti bakar, nasi koyor, dan lainnya) tetap di sekitar Pedamaran dan Petudungan. Aktivitas ini khusus untuk malam hari;
Jajanan khas Semarangan dan Tradisional Cina bisa dikembangkan di sekitar Gang Lombok dan Gang Pinggir;
Aktivitas pasar tradisional tetap di Pasar Gang Baru;
6. Bentuk kegiatan informal yang dikembangkan sebagai aktivitas penunjang hendaknya:
Memperhatikan karakteristik kagiatan baik fungsional maupun tidak, yang dominan terhadap kawasan kota secara umum, dan Kawasan Pecinan pada khususnya;
Memperhatikan pola konstektual, artinya sesuai dengan karakter dan kondisi Kawasan Pecinan baik ruang fisik (jalur pejalan kaki kawasan) maupun pola kegiatan yang telah ada;
7. Memperhatikan pertimbangan humanistik, dalam arti selalu memasukkan dimensi manusia sebagai subyek pelaku kegiatan (human scale), terutama dalam upaya menyediakan atau merencanakan wadah aktivitas;
8. Pengadaan fasilitas pelengkap lingkungan, seperti bangku taman (tempat duduk/istirahat), tempat sampah, papan petunjuk/rambu-rambu, bis bunga, dan street furniture lainnya hendaknya memenuhi persyaratan. Hal ini dimaksudkan agar fasilitas yang disediakan dapat dinikmati oleh pelaku aktivitas yang menikmati lingkungan sekeliling;
Sesuatu yang menyangkut ukuran, bentuk dan lokasi ruang yang menampung aktivitas, hendaknya bertitik tolak dari skala manusia, dengan desain yang mampu mempertajam citra kawasan;
V. DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Anderson, Larzt (1999). Guideline for Preparing Urban Plans. Washington, DC, American Planning Association, Planners Press.
Boyer, M Christine (1994). The City of Colective Memory: It’s Historical Imagery and Architectural Entertainments. Cambridge, Massachusetts, London, Englan: The MIT Press.
Carr, Stephen, Mark Francis, Leane G. Rivlin, Andre M. Stone (1992). Publik Space. Cambridge University Press.
Catanece, Anthony dan Jemes C. Snyder (1986). Pengantar Perencanaan Kota (terj. Sasongko). Jakarta: Erlangga.
Edi Darmawan (2003) Teori dan Perancangan Kota. Badan Penerbit Unversitas Diponegoro Semarang
Jakle, John A (1987). The Visual Elements of Landscape. The University of Massachusetts Press, USA.
Linch, Kevin (1979). The Image Of The City. MA: MIT Press.
Mc, Cluskey (1979). Road Form and Town Scape. London: The Architectural Press.
2. JURNAL/TERBITAN BERKALA:
Alexander Sastrawan, FX Budi widodo Pangarso, Herman Wilianto (1992). “Perencanaan dan perancangan Kota Berwawasan Arsitektur”. Jurnal PWK no. 6.
Wirosonjoyo, (1992). “Arsitektur kota: Revitalisasi sebagai Konsep Rencan Detai Pusat Kota”. Jurnal PWK No: 6.
3. TERBITAN TERBATAS:
IM. Tri Hesti Mulyani (1999). “Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kota”. Workshop Hasil Penelitian. Pusar Studi Urban Lembaga Penelitian Universitas Soegijapranata, 19 Juli.
4. ARTIKEL:
Soedarmaji Damais (1991). Menggalakkan Wisata Arsitektur. Konstruksi, Juli.
5. PRODUK PERENCANAAN, PERANCANGAN, PENELITIAN DAN KEBIJAKAN:
Jamilla Kautsary (2001/2002). Pengembangan Konsep Tata Ruang Sekitar Sungai (Water Front) Kali Semarang: Suatu Strategi Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Semarang. Proyek Bantuan Dikti (Dosen Muda)
Jamilla Kautsary (2000/2001). Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kawasn Pecinana sebagai Lingkungan Pejalan Kaki: Suatu Strategi Pendukung Revitalisasi Kawasan Little Netherland Sebagai Kawasan Wisata Arsitektural. Proyek Bantuan Dikti (Dosen Muda).
Rencana Detail Ruang Kota Semarang (BWK I) Tahun 1994/1995-2004/2005.
URBED (The Urban and Economic Development Group) and Jon Rowland Urban Design for Bracknell Forest Borough Council 15th January 1998. Bracknell Town Centre. Manchester.
The Sustran Network (2002). Kebijakan Transpor Perkotaan: Utamakan Pejalan Kaki.
[+/-] Selengkapnya...
[+/-] Ringkasan...