Kamis, 15 Januari 2009

MAKNA RUANG DALAM PERMUKIMAN PECINAN (ASPEK YANG TERLUPAKAN DALAM UPAYA REVITALISASI KAWASAN)

MAKNA RUANG DALAM PERMUKIMAN PECINAN (ASPEK YANG TERLUPAKAN DALAM UPAYA REVITALISASI KAWASAN)

Oleh:
Jamilla Kautsary
Ir. Sudaryono, S, M.Eng, Ph.D
Ir. Leksono P Subanu, MUP, Ph.D

Disampaikan Pada:
Seminar Nasional Eco Urban Design Universitas Diponegoro
2008



LATAR BELAKANG
Fenomena kegiatan revitalisasi kawasan lama khususnya di Semarang selalu dipandang sebagai upaya esklusif untuk menjadikan kawasan sebagai artefak dan diidentikkan dengan pembuatan produk arahan desain kawasan dari pemerintah (bersifat top-down). Padahal tujuan utama dari konservasi khususnya revitalisasi bukan untuk mengembalikan kesan masa lalu, tetapi melestarikan apa yang ada dan mengarahkan perkembangnnya di masa yang akan datang (Catenese, 1984).
Demikian juga dengan upaya revitalisasi Kawasan Pecinan. Selama ini upaya yang dilakukan lebih banyak menyoroti upaya pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata, perubahan struktur morfologi dan arsitektur bangunan. Upaya revitalisasi kemudian berkembang menjadi komoditas prospektif yang hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pihak tertentu khususnya pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi yang bersifat jangka pendek dan merusak kearifan lokal yang memunculkan banyak persoalanl karena adanya perbedaan antara rahapan masyarakat dan kenyataan dalam upaya revitalisasi. Kondisi ini juga menyebabkan munculnya konflik aktivitas yang berdimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya memunculkan respon negative masyarakat yang berupa penolakan warga terhadap upaya revitalisasi (Kautsary, 2005).
Bila ditelaah lebih dalam, penolakan masyarakat ini terjadi karena revitalisasi kawasan lebih banyak menggunakan teori perencanaan, urban design, arsitektur, pariwisata dan bahkan studi-studi yang lainnya yang hanya didasarkan pada tradisi disain tingkat tinggi (hight-design traditions), dengan teori-teori yang menitik beratkan pada hasil pekerjaan para perencana dan perancang, dan mengabaikan lingkungan-lingkungan yang didesain oleh rakyat biasa atau tradisi populer masyarakat akibatnya pemahaman budaya lokal terutama makna ruang terlalu dangkal(Rapopot, 1984).
Dari uraian di atas maka perlu kiranya untuk menemukan makna ruang pemukiman Pecinan yang mempunyai keterkaitan emosional dan kultur dengan masyarakat setempat. Studi ini diharabkan dapat memberikan sedikit sumbangsih terhadap pelestarian kawasan Pecinan, agar karakteristik unik dan interaksi positif antara ruang dan masyarakatnya tetap terjaga dengan baik.

KAJIAN TEORITIK
Budaya, Ruang dan Makna Ruang
Terdapat tiga definisi budaya terkait dengan sistem budaya-lingkungan. Pertama menggambarkan jalan hidup yang khas dari suatu kelompok tertentu, kedua sebagai sistem maksud/arti, lambang, dan skhemata yang dipancarkan melalui kode simbolis, dan ketiga sebagai satuan strategi adaptip untuk bertahan hidup berhubungan dengan ekologi dan sumber daya (Rapoport, 1968).
Pengertian di atas menurut Rapoport (1968) adalah saling melengkapi dan bukan saling bertentangan. Dengan demikian kultur dimulai dari strategi adaptasi suatu kelompok di dalam pengaturan ekologis mereka, yang kemudian disandikan dalam teori schemata, lambang, dan beberapa visi dari suatu kondsi ideal, dan hal ini yang belanjut pada generasi berikutnya. Kondisi ini, pada gilirannya, akan mendorong ke arah jalan hidup tertentu dan cara bertindak, mencakup perancangan dan pengaturan lingkungan untuk kelompok tertentu yang dilihat sebagai norma dan gaya hidup tertentu yang penting dan khas, yang berbeda dengan golongan lainnya.
Ruang juga merupakan aspek dari lingkungan yang sangat penting. Hal ini bukan sebuah konsep yang umum atau simpel. Ruang lebih dari sekedar ruang fisik 3 dimensional. Pada waktu dan konteks yang berbeda akan menghasilkan jenis ruang yang berbeda, dan hal ini merupakan isu desain yang penting karena ruang terkait dengan sistem budaya dan lingkungnnya.

Perancangan Kota sebagai Suatu Organisasi Ruang, Waktu Arti dan Komunikasi.
Terkait dengan sistem budaya-lingkungan, kota-kota maupun permukiman merupakan perwujudan dari sistem pengaturan yang menggambarkan organisasi ruang, arti, komunikasi dan waktu.
a. Organisasi ruang. Perencana dan perancang pada dasarnya menangani organisasi ruang. Ruang dapat dipandang dengan cara yang berbeda-beda. Hal ini dapat diperlihatkan dengan suatu ilustrasi, mengingat para perancang dan masyarakat sering memberi arti yang berbeda-beda terhadap konsep ruang. Ruang terbangun pada masyarakat tradisional adalah ruang yang disucikan dan sedangkan pada masyarakat modern ruang terbangun adalah ruang geometris. Lingkungan juga dapat dilihat sebagai serangkaian hubungan antara elemen-elemen dan manusianya (antara benda dan benda lain, antara orang dan benda dan antara manusia dan manusia). Hubungan –hubungan tersebut sebenarnya teratur dalam arti punya suatu pola dan struktur.
b. Organisasi arti. Desain dan rencana juga mewujudkan bayangan ideal dan menggambarkan harmonisasi antara ruang fisik dan ruang sosial. Desain dan rencana dalam organisasi ruang juga mencerminkan budaya dari kelompok atau individu yang terlibat. Desain dan rencana tersebut mewujudkan bayangan ideal dan menggambarkan keharmonisan hubungan (atau tiadanya) antar ruang fisik dan ruang sosial. Hubungan tersebut juga merupakan contoh dari pengorganisasian arti dan keduanya dapat dibedakan secara konseptual yang sering di ekspresikan dalam tanda, bahan/material, warna, bentuk, pemandangan dan yang lainnya.
c. Organisasi komunikasi. Keharmonisan seperti itu penting sebab arti-arti yang diperlihatkan oleh lingkungan dan oleh pengaturan-pengaturan di dalamnya membantu komunikasi antar penduduk (sedangkan arti adalah komunikasi dari lingkungan ke manusia). Dengan demikian melalui arti dan ruang, lingkungan mempengaruhi dan mencerminkan pengorganisasian komunikasi, kapan, di mana dan dalam konteks apa, merupakan cara yang penting dalam menghubungkan dan mengaitkan lingkungan buatan dengan organisasi sosial.
d. Organisasi waktu. Lingkungan juga bersifat temporal dan dapat dianggap sebagai organisasi waktu, sebagai refleksi dan pengaruh dari organisasi waktu. Hal ini mungkin di pahami dalam 2 cara. Pertama cenderung mengarah pada struktur kognitif waktu pada skala yang luas sebagai aliran linier versus waktu yang berputar, orientasi masa depan versus masa lampau, bagai mana waktu dinilai dan bagaimana dibagi menjadi unit-unit dan sebaginya. Ke dua lebih mengarah pada tempo dan ritme dari aktivitas manusia dan kesamaan atau perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ruang juga bisa dibedakan menjadi ruang yang didesain dan tidak didesain (dalam arti mengikuti aturan-aturan dan merefleksikan arti lingkungan yang ideal). Dua jenis sistem pengaturan diilustrasikan pada dua jenis ruang yaitu ruang geometrik abstrak dan ruang spiritual. Banyak permukiman dan perumahan hanya dapat dipahami dengan cara ini seperti beberapa kota kebudayaan tinggi seperti Cina, India dan yang lainnya. Kedua ruang ini menggambarkan ruang simbolik

Revitalisasi
Revitalisasi merupakan salah satu jenis pelestarian dengan mengadaptasikan bangunan lama yang sudah tidak tidak praktis lagi untuk melayani penggunaan baru danpada saat yang sama mempertahankan bentuk karakteristik orisinilnya. Revitalisasi dapat dilakukan tanpa atau dengan mengubah bentuk bangunan. Kadang memang tidak dapat dihindari bila ditilik dari analisis biaya manfaat tidak menguntungkan untuk dilestarikan, maka biarlah facade bangunannya saja yang dipertahankan agar pengamat bisa membayangkan wajah kota pada masa lalu (Budihardjo, 1991).
Upaya revitalisasi kawasan lama bukan hanya sekedar usaha melestarikan bangunan, tapi sudah juga merupakan usaha menghidupkan ekonomi kawasan yang mengalami kemunduran Cohen, 1999). Upaya pelestarian pada saat ini merupakan usaha-usaha yang holistik yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan sumber daya lama, dan melakukan suntikan kehidupan yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat dengan memperhitungkan nilai ekonomi. Manajemen merupakan alat untuk mencapai tujuan termasuk keterlibatan total masyarakat untuk mengelola sendiri/people centered management (Laretna, 2000).
Suntikan kegiatan baru yang memanfaatkan budaya dalam suatu kawasan harus terkait erat dengan sistem budaya dan lingkungan yang dibangun oleh masyarakat lokal. Dukungan untuk membangkitkan kebanggaan terhadap apa yang akan dikembangkan sangat penting. Begitu pula dalam pemilihan aktivitas yang akan dihidupkan kembali perlu penanganan yang jeli. Kondisi ini menuntut pengelola yang mampu berkerja dekat dengan masyarakat lokal dan bersamaan dengan itu mampu mengembangkan jaringan dengan pihak luar sangat diperlukan (Boyer, 1994: 8).

METODE PENDEKATAN
Penelitian makna ruang pada konsep permukiman tradisional China ini merupakan penelitian yang mencoba nemnggungkap sesuatu dibalik fenomena, sehingga metode penelitian yang digunakan deduktif kualitatif fenomenologi. Melalui pendekatan ini peneliti bisa lebih dalam untuk mengungkap, menggambarkan dan menganalisis kenyataan, fenomena dan peristiwa sosial yang benar-benar terjadi dan mengungkap apa yang ada dibalik kejadian itu berdasarkan background knowladge grand grand theory yang peneliti gunakan. Langkah-langkah penelitian ini dapat dilihat pada diagram berikut:


Dengan pendekatan ini maka objek penelitian adalah kepala keluarga yang lahir dan besar di lingkungan Pecinan Semarang (sample purposive) serta beberapa tokoh di luar objek penelitian yang ditunjuk oleh informan sebelumnya untuk kepentingan trianggulasi informasi. Implikasi dari pemilihan informan ini peneliti tidak menentukan jumlah sampel terlebih dahulu. Sedang teknik perekaman data melalui wawancara mendalam, observasi dan foto-foto. Data dan informasi yang dikumpulkan berupa kata-kata, penjelasan, gambaran, sketsa-sketsa, foto dengan catatan, naskah wawancara, hasil pengamatan dan pencatatan. Data dan informasi ini kemudian disajikan secara diskriptif (gambaran konteks/sifat natural).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai naluri untuk bertahan hidup tetapi karena adanya perbedaan lingkungan tempat dimana mereka tinggal, akan memicu munculnya perbedaan ‘kehidupan’ yang mereka jalani dan akhirnya setiap suku bangsa mempunyai corak yang berbeda-beda. Berbedaan ini dapat berupa tatanan sosial, pemikiran bahkan juga memunculkan ajaran dan spiritual yang berbeda pula. Kondidi inilah yang kemudian menyebabkan masing-masing suku bangsa mempunyai keunikan tersendiri dan tercermin dari seni, budaya, tatanan sosial dan sebagainya.


Gambar 1. Struktur kawasan Pecinan Semarang, yang cenderung menunjukkan struktur yang grid-organik. Sumber: ICONOS SEMARAng 2004


Gambar 2. Delapan klenteng yang ada di Pecinan Semarang yang kebanyakan berada di daerah tusuk sate dan menurut kepercayaan kaum Tionghoa tidak bagus untuk rumah atau usaha. Pemanfaatan ruang tusuk sate untuk bangunan ibadah dimaksudkan untuk menekan hawa buru dan membuang sial (Ciong). Jalan di depan klenteng (khusus jalan di gang Besen) merupakan jalan besar yang merupakan gambaran jalan menuju surga atau kemakmuran (Sumber: peneliti, 1999- 2005)

Hal di atas juga akan mempengaruhi tatanan ruang pada permukiman tradisional. Tatanan permukiman tradisional selalu memiliki makna tertentu bagi masyarakat penciptanya. Tatanan yang sama dengan makna yang berbeda akan memiliki struktur yang berbeda pula. Demikian juga dengan tatanan dan maknan ruang pada permukiman Pecinan Semarang yang terbentuk dari karakter sosio kultural yang berkembang dan ada di permukiman ini.
Secara struktur Pecinan semarang memiliki pola grid yang organic, dengan beberapa klenteng di ujung gang dan sungai yang memgelilingi kawasan ini. Jika kita melihat lebih dalam terkait dengan pola peletakan dan fungsi klenteng baik klenteng lokal maupun lingkungan, maka struktur ini lebih mengarah ke fungsi sebuah benteng yang akan melindungi kawasan pecinan dari musuh (jaman dahulu) dan roh jahat yang akan memasuki kawasan. Walaupun benteng ini secara fisk sudah tidak ada tetapi simbolisme peletakan klenteng lingkungan dan klenteng lokal ini masih menyimbulkan adanya suatu upaya perlindungan walaupun secara imaginer.
Dari hasil wawacara dan perekaman mendalam terhadap unit-unit informasi yang berupa pemikiran-pemikiran atau pendapat individu dari masyarakat (tokoh masyarakat), juga terlihat bahwa di dalam kawasan juga ada benteng-benteng utuk mempertahankan kehidupan perekonimian yang berupa aglomerasi perdagangan yang mengelompok di setiap gang serta benteng rumah untuk keselamatan penghuni.
Sepanjang gang Pinggir (centra perdagangan emas);
b) Sepanjang gang Lombok (centra perdagangan makanan khas/tradisional Cina);
c) Sepanjang gang Pedamaran (centra perdagangan jamu dan kelontong);
d) Sepanjang gang Warung (centra perdagangan kain);
e) Sepanjang gang Beteng (centra perdagangan grosir alat tulis);
f) Sepanjang gang Baru (centra perdagangan hasil bumi dan kebutuhan ritus masyarakat Cina/Pasar Gang Baru);
g) Sepanjang gang Gambiran, Belakang dan gang Mangkok (campuran hunian/rumag tingga dan jasa);
h) Sepanjang gang Tengah (perkantoran dan jasa);
i) Sepanjang gang Besen (centra perdagangan dan jasa pembuatan pintu/pagar besi) .



Gambar 3..Aktivitas di ruang jalan penggal jalan di Kawasan Pecinan, mulai parkir di pagi hari untuk pengunjung pasar Gang Baru, bongkar muat pada siang dan sore, tempat berdo’a dan melakukan ritual keagamaan sampai untuk kegiatan Warung Semawis pada tiam malam minggu (Sumber: data primer, 1999-2008)

Tabel I.
Perkembangan Fungsi Klenteng Dahulu dan Sekarang

No Nama Klenteng Lokasi Fungsi Fungsi Klenteng
Dahulu Sekarang
1 Khong Tie Soe Gg. Lombok Rumah Abu  Penjaga masyarakat
 Balai Kota  Rumah abu
 Balai Pengobatan
2 Tai Kak Sie Gg. Lombok Klenteng Budha (klenteng besar/kenteng induk)  Penjaga masyarakat
 Tempat Pemujaan  Tempat Pemujaan
 Tempat Berjuaalan perlengkapan sembahyangan
 Tempat menerima tamu
3 Hoo Hok Bio Gang Cilik Klenteng Tao  Penangkal roh jahat
 Tempat Penjagaan  Tempat Pemujaan
 Tempat Pengobatan
4 Kwee Lak Kwa Gg. Pinggir Klenteng Tao  Penangkal roh jahat
 Tempat Penjagaan  Tempat Pemujaan
 Tempat menerima tamu
5 Liong Hok Bio Gg. Pinggir Klenteng Tao  Penangkal roh jahat
 Tempat Pemujaan  Tempat Pemujaan
6 Tang Kee/Tong Pek Bio Gg. Pinggir Klenteng Tao  Penangkal roh jahat
 Tempat Penjagaan
 Tempat Pemujaan  Tempat Pemujaan
7 Sioe Hok Bio Jl. Wotgandul Timur Klenteng Tao  Penangkal roh jahat
 Tempat Penjagaan  Tempat Pemujaan
8 Khay Tjiang Sing Ong/See Hoo Kiong Sebandaran Klenteng Tao  Penjaga masyarakat
 Tempat Pemujaan
 Tempat singgah  Tempat Pemujaan
9 Wie Wie Kiong Sebandaran Klenteng Tao  Penjaga masyarakat
 Tempat Pemujaan
 Tempat persinggahan  Tempat Pemujaan
 Rumah Abu
 Tempat berbisnis

Sumber: Diolah dari berbagai sumber dan hasil induksi, 1999-2008
Semua aktivitas manusia berlangsung dalam ruang fisik. Ruang hanya berarti apabila dihuni oleh manusia, karena makna ruang diwujudkan oleh kehidupan manusia. Ruang tidak bisa ditanggapi secara komplet dari aspek fisik atau budaya secara terpisah. Ruang akan bermakna jika ruang mewadai dua makna sekaligus dimana ruang fisik mempunyai makna sosial dan ruang sosial selalunya dimanifestasikan oleh ruang fisik.
Ruang-ruang fisik, dikawasan ini seperti dijelaskan diatas melalui uraian dan gambar, secara sosial juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat pecinan. Makna sosial inilah yang sering dilupakan dalam upaya perbaikan kawasan memlalui proses refitalisasi. Dari beberapa tahun pengamatan yang peneliti lakukan, makna-makna yang ada pada tiap fungsi-fungsi ruang fisik dan sosial dikawasan ini, secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2
Aktivitas, Fungsi Dan Bentuk Simbolisme Di Kawasan Pecinan



Unit Ruang Aktivitas dan atau Karakter yang tampak Fungsi Bentuk Simbolisme Makna
Bangunan/Ruko - Perlindung - Tempat tinggal/perlindunga baik dari cuaca atau gangguan lainnya - Pagar/pintu besi, dinding masif
- Patung 2 singa di depan pintu - Perlindungan
- Berdagang/berkarya - Tempat bekerja/bengkel/ berjualan/usaha dll - Ruang toko
- Ruang kerja - Penghidupan
- Berdo’a dan meletakkan sesaji persembahan - Tempat pemujaan pada leluhur - Kongpo ada di ruang depan/ruang utama - Bakti (Hsiao/Houw)
Klenteng - Berdo’a/Pemujaan
- Perayaan dewa/dewi
- Meletakkan sesaji
- Pemberian sedekah - Tempat sembahyangan - Penempatang meja altar dan patung mak co/ kong co atau altar leluhur - Hubungan social (Ceng Li)
- Bakti (Hsiao/Houw)
- Keseimbangan langit dan bumi
- Pentas seni - Tempat berekspresi - Ruang terbuka untuk panggung -
- Menerimaan tamu agung/penginapan - Ruang tamu
- Pengunapan/Tempat singgah - Ruang penerima tamu
- Ruang singgah -
- Pegawasan - Pintu gerbang yang menghubungakan dengan kawasan luar Pecinan - Letak klenteng di ujung gang
- Arah hadap klenteng -
- Peletakan patung/reliefe/gambar harimau putih, dewa pintu, tulisan Long-yai dan Hu-xiong - Hiasan - Patung/gambar harimau putih di depan klenteng/bangunan
- lukisan Long-yin atau naga bersiul dan Hu-xiao yang berarti harimau menggeram
- Patung/ukiran dewa pintu - Perlindungan (menantang pengaruh jahat yang mengganggu kelenteng tersebut)
- Melambangkan anak yang berbakti kepada induknya/ Bakti (Hsiao/Houw)

Unit Ruang Aktivitas dan atau Karakter yang tampak Fungsi Simbolisme Makna
Jalan Pergerakan kendaraan,manusia dan barang Ruang sirkulasi dan parkir Kehidupan
Bongkat muat barang
Memajang barang dagangan
Tempat berkarya Ruang pamer
Ruang kerja Peletakan barang dagangan di ruang jalan
Penempelan iklan
Arakan kong co/mak co Jalan lewat kong co/mak co/Altar Peletakan lampion Bakti (Hsiao/Houw)
Berdo’a/sujud di depan pintu Mempermudah hubungan antara langit dan bumi Meja altar di depan pintu Pengapdian ‘Cung’ (setia).
Kawasan Klenteng di ujung jalan utama masuk kawasan - Penolak hawa buruk,
- Menghadang roh jahat
- Pos jaga Posisi dan arah hadap kelenteng local dan lingkungan Perlindungan

Kehidupan berkelompok sesuai barang dagangan/suku - Aglomerasi/keuntung-an ekonomi
- Menjaga keutuhan kelompok Taponim jalan/gang Perlindungan
Pendirian klenteng di pusat aktivitas (dekat sungai) Kemudahan pencapaian Klenteng masyarakat Rasa syukur
Pola Jalan Efisiensi Arah hadap/orientasi jalan utara-selatan Keteraturan dan keseimbangan

Dari tabel di atas aktivitas yang ada baik yang dilakukan didalam rumah/ruko, di ruang jalan atau di dalam kawasan secara umum, bila dicermati secara lebih dalam, juga terlihat adanya keteratura diantara kesemrawuta yang ada. Pola-pola aktivitas baik jenis, lokasi dan karakter yang tampak yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut menunjukkan bahwa di dalam lingkungan fisik atau lingkungan geografis ada suatu lingkungan operasional di mana orang-orang bekerja dan mempengaruhi mereka. Di dalam lingkungan perseptual di mana orang-orang sadar secara langsung dan di mana mereka memberi arti simbolis, terdapat lingkungan tingkah laku di mana orang-orang tidaklah hanya peduli tetapi juga menimbulkan tanggapan terhadap tingkah laku yang sama. Ruang ini kenyataannya digunakan oleh kelompok sosial dan merefleksikan pola tingkah laku dan persepsi mereka (ruang sosial).
Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa ada sebuah struktur imaginer yang terbentuk dari pemaknaan pada ruang fisik dan ruang sosial di kawasan pecinan, dapat dikatakan sebagai benteng berlapis. Benteng pertama dilindungi oleh benteng nyata (pada awallnya yang saat ini sudah dirobohkan), beteng ini didukung oleh peletakan klenteng masyarakat dan klenteng lokal sebagai penangkal roh jahat dan tempat pos penjagaan. Benteng kedua beropa perlindungan terhadap kegiatan perekonomian yang berupa algomerasi kegiatan, walaupun benteng ini sekarang mulai berubah menjadi spesifikasi, tetapi pada lingkun ini benteng perekonomian masih dapat dikenali. Benteng terakhir dapat dilihat jelas pada bentuk hunian masyarakat di pecinan. Faktoir keamanan merupakan terbenting bagi mereka, sehingga beberapa pengaman dapat dilihat pada bangunan di kawasan ini. Dari bentuk ini terlihat bahwa kawasan juga memiliki makna keamanan. Pola benteng ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut



Keterangan
Pelindung I: musuh (jaman dahulu)
dan roh jahat
Pelindung II: Kehidupan perekonmian
Pelindung III Keselamatan manusia
Klenteng Masyarakat
Klenteng Lokal (orientasi jlan utama)
Klenteng Lingkungan (ujung gang)


(Sumber: hasil analisis, 2008)


KESIMPULAN dan REKOMENDASI
Makna ruang yang dapat digali dari studi yang peneliti lakukan dikawasan Pecinan komplek. Dari ruang-ruang fisik sebagai wadah aktivitas, jika dikasi lebih lanjut ke ruang sosial akan banyak makna yang membedakan ruang kawan ini dengan ruang lainnya. Makna yang dapat dikenali antara lain berupa makna penghormatan/bakti, pengapdian, , perlindungan, penghidupan, dan keeimbangan.
Rekomendasi yang dapat diberikan dengan adanya makna-makna ini, hendaknya dalam perencanaan ataupu upaya revilatlisasi kawasan kita lebih elihat kearifan yang dibentuk oleh konsesnsus masyarakat setempat, sehingga bentrokan aktivitas yang berdemensi ruang dan waktu dapat dihindari


PUSTAKA BUDAYA DAN ARSITEKTUR PERMUKIMAN CINA
Text Books
Catanese, JA., 1983, ” Introduction to Urban Planning (terjemahan), Airlangga, Jakarta
Koentjoroningrat,….., “Manusia dan Kebudayaan di Indinesia” Djembana.
LÜ Junhua., and Daniel Benjamin Abramson., 1997, “Vernacular Architecture in Historic Chinese Cities”. Department of Urban Planning and Design of the School of Architecture at Tsinghua University Beijing, China.
Ma, J.C., and Fulong, Wu., 2005, “Restructuring the Chinese City: Changing Society, Economy and Space”, First published, Routledge 2 Park Square, New York.
Norbet, Schnoenaver., 1992, “History of Housing”, McGill, University School of Architecture, Canada. (The Traditional Urban Houses in China)
Steinhardt, NS, 1984, “Chinese Traditional Architecture”, Chine Institute in America.
Rapoport, A., 1986, “Asal-Usul Budaya Pemukiman, dalam Pengantar Perencanaan Kota. Penyunting Catanese J. A., dan Snyder, terjemahan Sasongko, Airlangga, Jakarta
Rapoport, A., 1980, “Human Aspects of Urban Form: Toward a Man Environment Approach to Urban Form dan Design” 2nd Edition, Printed in Great Britain, Wheaton & Co. Ltd, Exeter. Oxfort: Pergamon Press.
Williams. C. A. S, 2006, “Chinese Symbolism and Art Motifs”, Tuttle Publishing, Singapore

Researches
Mutiari, Dani .,2007, ”Landasan Konsep Arsitektur Rumah Toko Cina: di Kawasan Sekitar Pasar Gedhe Surakarta”. Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Mutiari, Dani., 2005, “Tipologi dan Morfologi Permukiman Cina di Surakarta: Studi Kasus di Kampung Pecinan Pasar Gedhe Surakarta”. Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2008,“Budaya dan Ruang pada Permukiman Tradisional Pecinan Semarang”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2007, “Model Pengembangan Permukiman Tradisional Pecinan Sebagai Kawasan Wisata Budaya (Hibah Bersaing dikti 2007)
Kautsary, J., 2007,“Karakteristik Psikologis, Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Semarang”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2005, ”Konflik Kepentingan di Kawasan Permukiman Wisata Budaya Pecinan Semarang (Proceedings Seminar Nasional Arsitektur Lingkungan dan Pariwisata Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Hal. III-6 - III-14, ISSN 979-25-0021-9: 10 September 2005)
Kautsary, J., 2005, “Penolakan Masyarakat Pecinan terhadap Kebijakan dan Program Revitalsasi Kawasan”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2003, Pengembangan Konsep Ruang Terbuka Sekitar Sungai (River Front) Kali Semarang: Suatu Strategi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Semarang. Dikbud, Jawa Tengah.
Kautsary, J., 2002, “Optimalisasi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan sebagai Lingkungan Pejalan Kaki: Suatu Strategi Pendukung Revitalisasi Kawasan Little Netherland sebagai Kawasan Wisata Arsitektural”, Dikti, Jakarta.
Kautsary, J., 2001, “Identifikasi Potensi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Sebagai Kawasan Pejalan Kaki”, Dikti, Jakarta.
Kautsary, J.,1999, “Identifikasi Potensi Road Form dan Townscape Kawasan Pecinan Semarang”, Kopertis Wilayah VI, Jawa Tengah.
Johannes Widodod, 1988, “Chinese Settlement in Changing City”, Katholieke Universieit Lauven. Belgium (Tidak dipublikasikan)
Johannes Widodod, 1990, “Urban Development and th Chinese Settlement in the Northern Coast of Java”, Universitas Parahyangan, Bandung. (Tidak dipublikasikan)

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 14 Januari 2009

Konflik Kepentingan di Kawasan Pecinan Semarang Dalam Implementasi Kebijakan Program Revitalisasi Sebagai Kawasan Wisata Budaya

Conflict of interest in Semarang Chinese Town in Implementation Policies and Programs for Culture Tourism Based Revitalization

Jamilla Kautsary1, Leksono P. Subanu2, dan Agam Marsoyo3

Program Studi Perencanaan Kota dan Daerah

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


1 Staf pengajar Jurusan Perenc. Wilayah dan Kota FT Unissula Semarang (j_kautsary@hotmail.com)

2 Staf pengajar Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT UGM Yogyakarta (lpsabanu@email.com)

3 Staf pengajar Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT UGM Yogyakarta (agam@ugm.ac.id)


Abstract

The change of paradigms in the planning and development in term of tourism for sustainable is not easy to implemented. Different vision and goals among stakeholder often appears conflict of interest. For example conflict of interest in implementation policy and program for Culture Based Revitalization in Semarang Chinese Town is called multifaceted. In this area, the conflict have implicated to multi sectors and multi disciplines. Based on research that conducted from the end of years 2004 until the end of year 2005, showed that the conflict have emerged varieties of negative responses from local community to policies and programs for culture tourism based revitalization. The conflicts and negative responds of the local community emerged due to commercialization of culture and tourism profit making oriented and than finally intruding on the local community activities and reducing religious sacred.


Keywords: Conflict of interest, Chinese Town, Implementation, Culture Tourism and Revitalization

I. LATAR BELAKANG

Upaya pengembangan wisata budaya melalui revitalisasi di kawasan Pecinan Semarang yang digulirkan pada awal tahun 2004, lebih banyak terobsesi dari adanya tren pangsa pasar wisata dari Asia Timur Raya (Cina, Hongkong dan Korea) setelah tragedi WTC dan adanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Cina (awal 2002) untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata (Yovita Arika, Kompas 9 November 2002).




Guna mengejar adanya tren tersebut dapat dikatakan pengembangan wisata di kawasan Pecina terkesan sangat instan. Paradigma pembangunan pariwisata secara berkelanjutan yang sudah muncul sejak dekade 90-an belum bisa diadaptasikan secara baik oleh pelaku pembangunan, sehingga mereka kurang memahami adanya perubahan pariwisata dari mass market ke niche travel (inovasi perjalanan yang diaplikasikan kedalam bentuk special interst yang menghendaki pengendalian motif ekonomi ke arah pelestrarian sumber daya alam, sosial dan budaya menuju pembangunan pariwisata yang berkelanjutan).

Menanggapi adanya perubagan paradigma tersebut sebenarnya Indonesia bersama negara-negara anggota WTO (World Tourism Organization) sepakat untuk merumuskan ketentuan-ketentuan umum yang intinya menyangkut pendekatan dan implementasi pengembangan “pariwisata berkelanjutan” (sustainable tourism). Pengembangan pariwisata yang didasarkan pada kriteria keberlanjutan secara ekologis harus dikelola dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial budaya masyarakat lokal (Ardiwidjaja, 2005).

Dalam deklarasi tersebut secara tegas diamanatkan bahwa keleslarian lingkungan alam dan budaya, ekonomi rakyat serata pemberdayaan masyarakat lokal menjadi persyarata utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pariwisata. Dalam kontek ini pembangunan pariwisata yang tepat adalah pariwisata yang secara aktif dapat menjaga keberlangsungan suatu ranah budaya, sejarah dan alam. Kondisi ini dicirikan dengan adanya pemberdayaan penduduk lokal untuk memfasilitasi akan pengalaman dan budaya lokal untuk wisatawan.

Dalam tulisannya Butler menegaskan bahwa yang dimaksud sustainable development dalam kontek pariwisata adalah:

“...tourism which is developed and maintened in an area (community, environment) in such a manner and at such a scale that it remains viable over an indefinite period and does not degrade or alter the environment (human and physical) in whict it exist to such a degree that it prohibits the successful developmnt and well-being of other activities and prosses...”(Nelson, Butles and Wall, 1993:3)

Sangat disayangkan upaya pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai kawasan wisata budaya yang dilakukan melalui revitalisasi belum sepenuhnya menggunakan paradigma baru tersebut. Selama ini pembangunan pariwisata lebih banyak berorientasi ke profit making dan telah banyak mengabaikan masalah lokal. Hal inilah yang memicu konflik kepentingan yang multi sektoral dan multi disiplin antar pihak-pihak yang berkepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan Semarang yang pada akhirnya menyebabkan munculnya beragam bentuk penolakan dari masyarakat setempat.

II. CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif sehingga metode penelitian yang digunakan cenderung ke induktif kualitatif. Objek penelitian adalah kepala keluarga yang lahir dan besar di lingkungan Pecinan Semarang serta menganut agama Tri Darma (sample purposive). Implikasi dari pemilihan informan ini peneliti tidak menentukan jumlah sampel terlebih dahulu. Sedang teknik perekaman data melalui wawancara mendalam, observasi dan foto-foto.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mencapai tujuan penelitian:

  1. Melakukan kajian pustaka (grand theory), sebagai background knowledge.
  2. Melakukan pengamatan menyeluruh terhadap untuk menemukan beberapa hal yang unik yang terkait dengan tujuan studi dan menemukan unit-Kasus.
  3. Melakukan pengamatan secara mendalam ke unit-unit amatan (kasus) untuk mencari unit-unit informasi;
  4. Melakukan pengamatan dan perekaman yang mendalam terhadap unit informasi yang disertai dengan kegiatan refleksi pada ada hari-hari biasa (kondisi normal) dan pada saat terjadinya acara seperti perayaan Po Seng Tay Te dan Sam Poo Tay, pasar Malam Implek, bazar makanan khas Semarangan dan perayaan King Ho Ping ;
  5. Melakukan wawancara dan perekaman mendalam terhadap unit-unit informasi yang berupa pemikiran-pemikiran atau pendapat individu dari masyarakat dan tokoh-tokoh yang dirujuk dari wawancara sebelumnya;
  6. Melakukan triagulasi untuk mendapatkan temuan yang kridible. Proses triangulasi yang peneliti lakukan diantaranya dengan triagulasi sumber, metode dan teori.
  7. Melakukan olah informasi dengan editing, koding, dan tabulating dengan metode/pendekatan memotong dan memasukkan (cut and fill).
  8. Melakukan pengelompokan informasi yang mirip atau saling berhubungan (kategorisasi) untuk memunculkan tema-tema. Sistem pengkatagorian yang peneliti lakukan adalah sistem emik (dikembangkan sendiri).
  9. Melakukan analisis hubungan antar tema untuk memunculkan konflik, bentuk penolakan dan alasan yang menyebabkan penolakan; Proses analisis tema-tema dan analisis hubungan antau tema di atas di kakukan melalui dua tahapan yaitu:
  10. Mengelompokan/mengkatagorisasikan kasus-kasus/topik-topik yang mirip (likely)untuk menemukan tema-tema yang sejenis dan saling berkaitan;
  11. Menggambarkan makna/arti/nilai di balik tema-tama yang ada.
  12. Mengelompokkan hasil-hasil analisis yang disusun dalam temuan studi sengan mengabstraksikan teme-tema menjadi konsep penolakan dan direduksi menjadi kesimpulan studi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Industri pariwisata merupakan keseluruhan rangkaian dari usaha penjualan barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisatawan sampai kembali ke tempat tujuan (Hari karyono, 1997: 24). Sebagai produk ekspor yang unik, sektor pariwisata membutuhkan biaya yang relative murah dibanding industri manufaktur dan pertanian yang sekaligus merupakan sumber devisa Negara.

Sebelum ada program revitalisasi sebagai kawasan wisata budaya, kawasan Pecinan semarang merupakan kawasan yang relatif tidak punya gaung, mengingat kawasan ini sudah lama ditinggalkan oleh sebagian penduduknya. Kawasan ini sering disebut orang sebagai kawasan tua (dihuni orang-orang yang berusia lanjut) dengan aktivitas perdagangan eceran dan grosir yang ralatif sepi.

Secara administratif kawasan Pecinan berada di kelurahan Kranggan, kecamatan Semarang Tengah. Kawasan ini memiliku luas kurang lebih 25 Ha dan secara fisik dibatasi oleh gang Lombok di bagian Utara, kali Semarang di bagian Timur dan Selatan, serta jalan Beteng di bagian Barat. Kawasan ini memiliki karakter yang cukup unik, dengan didominasi oleh rumah berbentuk rumah toko (shop house) dua lantai. Lantai pertama bangunan ini berfungsi sebagai tempat usaha dan lantai kedua untuk tempat tinggal. Jalan-jalan di kawasan ini merupakan ruang sisa bangunan yang perbandingan antar lebar dan tinggi (D/H) kurang dari satu, sehingga banyak ditemui lorong sempit. Selain itu banyaknya lahan tusuk sate juga membuat kawasan ini memiliki banyak klenteng di tiap ujung gang (lihat gambar 1 dan 2).

Jumlah penduduk di kawasan ini 5626 jiwa, 249 jiwa diantaranya adalah warga Negara asing. Penduduk kawasan ini mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha. Di kawasan inti penduduk masih banyak yang menganut agama Tri Dharma (gabungan agama/kepercayaan Budha, Tao dan Kong Hu Cu), walaupun sebagian masyarakat telah banyak beralih ke lima agama yang di akui oleh pemerintah Indonesia.

Adanya perubahan sikap pemerintah terhadap kaum Tionghoa pada era Gus Dur telah merubah image kawasan ini. Adanya tren pangsa pasar wisata Asia Timur Raya dan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan China untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata budaya, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah dengan menyusun rencana tindakan untuk menjadikan kawasan Pecinan Semarang sebagai Kawasan Wisata Budaya telah banyak merubah citra kawasan ini. Sangat disayangkan orientasi untuk menciptakan keuntungan (profit making) dari pemerintah daerah dalam mencetak PAD (Pendapatan Asli Daerah) serta ketidak siapan pelaku pembangunan di sektor ini pada akhirnya banyak memicu timbulnya beragam konflik kepentingn dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.

3.1. Konflik Kepentingan

Pariwisata perupakan salah satu bentuk industri yang akhir-akhir ini dituding sebagai penyebab adanya degradasi lingkungan dan budaya. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan memang bukan hal gampang untuk diterapkan walaupun paradikma ini sudah muncul dari decade 90-an. Orientasi profit making dari pemerintah daerah dalam mencetak PAD (pendapatan Asli Daerah) masih sangat dominan dan telah menimbulkan muncuknya berbagai konflik kepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan Semarang.

Bila dicermati lebih dalam, dalam konflik kepentingan ini melibatkan beberapa pihak yang multi sektoral dan instansional seperti:

  • Keinginan masyarakat setempat untuk menjaga kesatuan dan ketentraman di lingkungan Pecinan yang telah tercipta, serta mencegah timbulnya kerusuhan ras. Hal ini mereka lakukan mengingat mereka merupakan golongan minoritas yang selalu mendapat masalah. Mereka juga ingin berperan serta dalam pembangunan bukan hanya sebagai penonton yang tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan;
  • Keinginan pebisnis lokal untuk meningkatkan taraf hidup dan perbaikan kondisi lingkungan usaha dan meningkatkan keuntungan dari upaya revialisasi;
  • LSM (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) yang berusaha melindungi masyarakat terhadap upaya ekploitasi/over commercializes dan mengangkat hak masyarakat sebagai bagian dari warga Indonesia;
  • Investor/pengembang yang terkait dengan industri pariwisata yang hanya berorientasi pada provit making;
  • Donatur pribadi yang kembali menginginkan klenteng marganya menjadi lebih besar, karena klenteng juga merupakan simbol kebesaran dan keberhasilan marga;
  • Pemerintah, baik pemerintah propinsi (melalui Disparta) maupun pemerintah Kota Semarang yang lebih berorientasi pada PAD tanpa diimbangi dengan konsep, strategi pembangunan dan implementasi yang jelas;
  • Kelompok masyarakat adat (sesepuh dan pemuka agama Tri Dharma) yang menolak komersialisasi perayaan agama (ritus) karena mengganggu ibadah mereka dan mengurangi makna kesakralan karena ritual cenderung menjadi mekanistis;
  • Serta kepentingan masyarakat lain kawasan yang haus akan hiburan.


3.2. Bentuk Penolakan

Dari hasil penelitian kami, berbagai konflik yang muncul akibat pengembangan aktivitas baru yang kurang mempertimbangkan permasalahan dan kearifan lokal, telah menyebabkan munculnya permasalahan baru seperti kemacetan, hilangnya rasa nyaman, terganggunya aktivitas perekonomian masyarakat, perpecahan di dalam masyarakat serta hilangnya makna sakral dari ritus perayan keagamaan. Hal inilah yang kemudin menyebabkan penolakan warga terhadap implementasi kebijakan dan program revitalisasi kawasan sebagai kawasan wisata budaya. Penolakan masyarakat Pecinan ini diantaranya diungkapkan dalam bentuk:

  • Kompromi dengan revitalisasi. Bentuk kompromi ini dengan syarat bahwa revitalisasi kawasan bukan untuk mengembangkan kawasan sebagai kawasan wisata budaya tetapi untuk perbaikan lingkungan karena hal ini dinilai lebih aman.
  • Diam baik acuh tak acuh terhadap kebijakan dan program pemerintah mau pun diam dengan perasaan marah. Sikap ini diambil sebagai salah satu ungkapan toleransi warga Pecinan terhadap program pemerintah.
  • Protes melalui jalur formal, di rapat-rapat kelurahan dan merencankan demonstrasi dan pemblokiran untuk pelaksanaan event di tahun mendatang jika protes secara formal ini tidak mendapat tanggapan, karena warga merasa sudah benar-benar dirugikan dan dilecehkan.
  • Tidak mengikuti anjuran pemerintah terutama dalam tata cara, pembangunan, penataan dan pemanfaatan bangunan klenteng.
  • Bertahan dengan menciptakan penghalang yang bersifat tempotal (seperti peletakan kursi, bangku dan pot bunga) atau dengan cara permanen (membangun pagar pembatas). Lihat gambar
  • Menulis berbagai protes memalui penulisan berita dan artikel di beberapa media surat kabar nasional, majalah popular serta menulis surat protes secara resmi ke Pemerintah Kota Semarang.
  • Mengajukan surat penolakan/protes ke pemerintah secara bersama-sama yang ditandatangani oleh semua warga yang mengatas namakan warga yang peduli lingkungan dalam satuan RT.

3.3. Penyebab Konflik dan Alasan Penolakan

Penyebab konflik dan penolakan warga terhadap kebijakan dan program pengembangan kwasan sebagai kawasan wisata budaya Pecinan. Penyebab utama munculnya konflik kepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan dari penelitian yang kami lakukan adalah:

  • Pariwisata di Pecinan telah berkembang sebagai komoditias yang prospektif untuk memberikan keuntungan ekonomi yang amat besar bagi beberapa pihak tertentu. Keuntungan financial ini dinikmati pertama oleh pengusaha pariwisata dan kedua oleh pemerintah daerah baik resmi sebagai lembaga atau secara tidak resmi oleh unsur pribadi. Pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah dalam kasus ini memiliki kesamaan kepentingan sehingga menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi (keuntungan financial) yang bersifat jangka pendek.
  • Adanya perbedaan visi atau tidak adanya pemahaman terhadap kondisi lokal, tidak adanya komunikasi yang baik dari masing-masing stakeholder/koordinasi yang buruk, tidak adanya upaya implementasi program dan kebijakan dari pemerintah yang baik yang disertai dengan upaya monitoring di lapangan, sulitnya masyarakat setempat beradaptasi dengan perubahan setelah 32 tahun terkekang oleh beragam pembatasan dari pemerintah orde lama;
  • Pengalaman masa lalu masyarakat Pecinan yang sangat berpengaruh pada perilaku yang apatis warga masyarakat Pecinan. Pada jaman Orde Lama, banyak warga keturunan Cina yang dikatakan sebagai pendukung aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada waktu itu pula hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI, rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Larangan ini diwujudkan dengan di leluarkannya Inpres 14 th 1967 (lampiran 1: agama, kepercayaan dan adat istiadat cina), Surat Edaran no. 06/Preskab/6/67 (perubahan nama), Keputusan Mentri Perdagangan dan Koperasi no. 286/KP/XII/1978 (larangan penggunaan bahasa Cina, Pendirian Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yag menjadi bagian dari Badan koordinasi Intlejen (Bakin). Dengan berbagai aturan tersebut maka masyarakat Cina:

- Tidak boleh menyelenggarakan kegiatan keagamaan atau menjalankan ritual dan

tradisi yang berbau Cina termasuk mengganti nama dan menggunakan istilah

asing untuk promosi;

- Tidak boleh berperan dalam bidang apapun kecuali ekonomi;

- Boleh mengadakan upacara tetapi dengan cara membayar ke Pak Harto;

- Mengurus apapun secara benar (terutama bayar pajak) dipersulit dan hanya bisa

diselesaikan dengan memberi uang;

- Pengurusan KTP harus menggunakan SKBRI walau pun oleh ibu Mega sudah di

cabut.

  • Terganggunya aktivitas sehari-hari, perekonomian dan aktivitas ritual asyarakat setempat karena seluruh ruang jalan utama dimanfaatkan untuk aktivitas baru walau pun bersifat temporal.
  • Adanya degradasi nilai-nilai sosial budaya lokal dan norma agama yang bersifat jangka panjang akibat dikomersialkannya aktivitas ritual. Hal ini juga yang memicu munculnya budaya instant yang banyak ditentang oleh tokoh agama karena mengurangi makna kesakralan. Sehingga muncul anggapan yang jelas diburamkan dan yang buram dijelaskan karena kepentingan ekonomi;
  • Kegiatan periwisata yang dikembangkan bukan untuk mensejahterakan masyarakat lokal karena belum sepenuhnya mengikutsertakan masyarakat (sebatas pemberitahuan).
  • Adanya kekhawatiran warga setempat bahwa revitalisasi kawasan sebagai kawasan wisata budaya akan menimbulkan perpecahan karena kondisi/iklim politik yang tidak memungkinkan di Indonesia.

IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dalam konflik kepentingan yang terjadi pada kasus di Pecinan Semarang atau pun pada konflik yang pernah terjadi maupun yang akan terjadi, yang jelas selama ini konsep pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata sering memicu konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan baik institusional maupun sektoral. Dampak yang paling jelas dari adanya konflik tersebut adalah banyak dirugikannya masyarakat lokal sehingga reaksi-reaksi negative yang berupa penolakan masyarakat terhadap kebijakan dan program sering terjadi.

Hal penting yang dapat diambil hikmahnya dari konflik kepentingan tersebut adalah adanya kesamaan keinginan semua pihak bahwa pembangunan dalam bentuk apapun harus memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masa depan dan bagi semua pihak. Di era Otonomi Daerah, pemerintah lokal harus mampu berberan sebagai fasilitator bersama-sama masyarakat dan mengusaha dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan penentuan bidang apa yang memungkinkan untuk dikembangkan tanpa saling merugikan (pengambilan keputusan).

Siapa yang bertanggung jawab atas terselesainya konflik tersebut secara bijaksana dan siapa yang mengendalikan pembangunan kawasan sebagai kawasan wisata budaya secara berlanjut? Yang jelas jika konflik tersebut dibiarkan dan persoalan tidak ditanggulangi dikhawatirkan perkembangan wisata di Semarang khususnya dan di Indonesia pada umumnya akan menjadi penghacur pariwisata itu sendiri.

4.2. Rekomendasi

Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam upaya menghindari konflk pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai kawasan wisata budaya antara lain:

  • Dalam proses implementasi hendaknya melibatkan peran serta masyarakat. Peran masyarakat ini sangat dibutuhkan karena dalam implementasi kebijakan dan program memerlukan pemahaman terhadap kondisi lokal, komunikasi dan koordinasi yang jelas, perkiraan/penaksiran tentang dampak yang ada, monitoring yang baik dalam implementasi dan adaptasi terhadap perubahan.
  • Dalam konsep atau proses pemikiran dan pembuatan keputusan tentang perubahan yang terjadi dalam kepariwisataan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta dalam implementasi kebijakan dan program memerlukan adanya pemahaman (understanding) terhadap kondisi lokal, adanya komunikasi (komunicating) dan koordinasi yang jelas antar stakeholder, perkiraan/penaksiran (assessing) tentang dampak yang ada, monitoring yang baik dalam implementasi dan adaptasi terhadap perubahan. Keseluruan konsep adau proses ini tidak bisa dilihat sebagai tahapan tang terpisah-pisah, tetapi lebih pada interaksi yang sangat kuat antar yang satu dengan yang lain.
  • Dalam setiap upaya mengembangan aktivitas baru yang cangkokkan dari tradisi masyarakat jangan hanya mempertimbangkan kelayakan teknis, financial, ekonomi dan administrative tetapi kelayakan sosial dan budaya juga sangat dibutuhkan, sehingga konflik antar stakeholder bisa diperkecil.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C., 2002, “Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif”, Dunia Pustaka Jaya, Bandung.

Ardiwidjaja, 2005, Ekowisata Solusi Konflik Pembangiunan di Lembang, Mungkinkah?”, Lembaga Studi Pariwisata Indonesia.

Bell, A., Paul, G., Fisher, TC., Jeffery D., and Baum, A., 2001. “Environmental Psychology”, 5ed., Harcourt college Publishers, Orlando.

Bulkis, S., Amrullah., dan Fatmawati., 2002, “Perumusan Program”, Pusat Studi Kebijakan dan Menejemen Pembangunan, Universitas Hasanudin.

Darma, R., 2002, “Proses Perumusan Kebijakan”, Pusat Studi Kebijakan dan Menejemen Pembangunan, Universitas Hasanudin.

Dinas Pariwisata Jawa Tengah ,1994, “Arahan Desain Kawasan Wisata Pecinan Semarang”.

Hariadi., dan Setiawan, B., 1995, “Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Pusat Studi Lingkungan”, Dikti, Jakarta.

Hari, K.,1997, “Kepariwisataan”, Jakarta, Gramedia;

Kerr, J.H., dan Tacon, P., 1999, “Phychological Respones to Different Type of Location and Activity”, Journal of Environmental Psychology. No.19: 287-294.

Mazmanian, D.A., dan Sabatier, P.A., 1983, “Implementation and Public Policy”, Scaott, Foresman and Company, London.

Mitchel, B., Setiawan, B., dan Rahmi, D.H., 2000, “Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan”. Gama Univ. Press, Yogyakarta.

Muhadjir, Noeng., 2000, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Rake Sarasih, Yogyakarta.

173

Muhammad, Djawahir., 1996, “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan”. Aktor Studio, Semarang.

Nelson, B., dan Wall, 1993, “Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing”, Department of Geography University of Waterloo.

Oelofse, Catherine., dan Dodson, Belinda., 1997, “Community, Place and Transformation: a Perceptual Analysis of Residents’ Responses to an Informal Settlement in Hout Bay South Africa”. Geoforum Journal, Vol.28. No. 1:91-101.

Onyebueke, V.U., 2001, “Denied Reality, Retarded Perception or Inaction?” Cities, Vol. 18. No. 6: 491-423.

Patton, C.V., and Sawicki, D.S., 1986, “Basic Methods of Policy Analysis and Planning”, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Sudarman, D., 2002, “Menjadi Peneliti Kualitatif”, Pustaka Setia, Bandung.

Sudaryono, S., 2003, “Metode Deduktif dan Induktif dalam Penelitian Arsitektur, Workshop of Architecture Research Method and Implementation, Diponegoro University, Semarang.

Unesco, 1975, “The Renewal of Historic Town Centres in Nine European Countries (France, Great Britain, Italy, The Netherland, Poland, Austria, CSSR, Hunggary, Switzerland)”, Jerman Ministry.

Yovita A., 2002, “Wisata Pecinan Semarang”, Kompas: Sabtu, 9 November 2002.

Yovita A., 2004, Revitalisasi Kawasan Pecinan Semarang”, Kompas: Jumat, 06 Februari 2004.

[+/-] Selengkapnya...

Cece dan jamilla lagi

Status YM Status YM