Rabu, 14 Januari 2009

Konflik Kepentingan di Kawasan Pecinan Semarang Dalam Implementasi Kebijakan Program Revitalisasi Sebagai Kawasan Wisata Budaya

Conflict of interest in Semarang Chinese Town in Implementation Policies and Programs for Culture Tourism Based Revitalization

Jamilla Kautsary1, Leksono P. Subanu2, dan Agam Marsoyo3

Program Studi Perencanaan Kota dan Daerah

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


1 Staf pengajar Jurusan Perenc. Wilayah dan Kota FT Unissula Semarang (j_kautsary@hotmail.com)

2 Staf pengajar Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT UGM Yogyakarta (lpsabanu@email.com)

3 Staf pengajar Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT UGM Yogyakarta (agam@ugm.ac.id)


Abstract

The change of paradigms in the planning and development in term of tourism for sustainable is not easy to implemented. Different vision and goals among stakeholder often appears conflict of interest. For example conflict of interest in implementation policy and program for Culture Based Revitalization in Semarang Chinese Town is called multifaceted. In this area, the conflict have implicated to multi sectors and multi disciplines. Based on research that conducted from the end of years 2004 until the end of year 2005, showed that the conflict have emerged varieties of negative responses from local community to policies and programs for culture tourism based revitalization. The conflicts and negative responds of the local community emerged due to commercialization of culture and tourism profit making oriented and than finally intruding on the local community activities and reducing religious sacred.


Keywords: Conflict of interest, Chinese Town, Implementation, Culture Tourism and Revitalization

I. LATAR BELAKANG

Upaya pengembangan wisata budaya melalui revitalisasi di kawasan Pecinan Semarang yang digulirkan pada awal tahun 2004, lebih banyak terobsesi dari adanya tren pangsa pasar wisata dari Asia Timur Raya (Cina, Hongkong dan Korea) setelah tragedi WTC dan adanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Cina (awal 2002) untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata (Yovita Arika, Kompas 9 November 2002).




Guna mengejar adanya tren tersebut dapat dikatakan pengembangan wisata di kawasan Pecina terkesan sangat instan. Paradigma pembangunan pariwisata secara berkelanjutan yang sudah muncul sejak dekade 90-an belum bisa diadaptasikan secara baik oleh pelaku pembangunan, sehingga mereka kurang memahami adanya perubahan pariwisata dari mass market ke niche travel (inovasi perjalanan yang diaplikasikan kedalam bentuk special interst yang menghendaki pengendalian motif ekonomi ke arah pelestrarian sumber daya alam, sosial dan budaya menuju pembangunan pariwisata yang berkelanjutan).

Menanggapi adanya perubagan paradigma tersebut sebenarnya Indonesia bersama negara-negara anggota WTO (World Tourism Organization) sepakat untuk merumuskan ketentuan-ketentuan umum yang intinya menyangkut pendekatan dan implementasi pengembangan “pariwisata berkelanjutan” (sustainable tourism). Pengembangan pariwisata yang didasarkan pada kriteria keberlanjutan secara ekologis harus dikelola dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial budaya masyarakat lokal (Ardiwidjaja, 2005).

Dalam deklarasi tersebut secara tegas diamanatkan bahwa keleslarian lingkungan alam dan budaya, ekonomi rakyat serata pemberdayaan masyarakat lokal menjadi persyarata utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pariwisata. Dalam kontek ini pembangunan pariwisata yang tepat adalah pariwisata yang secara aktif dapat menjaga keberlangsungan suatu ranah budaya, sejarah dan alam. Kondisi ini dicirikan dengan adanya pemberdayaan penduduk lokal untuk memfasilitasi akan pengalaman dan budaya lokal untuk wisatawan.

Dalam tulisannya Butler menegaskan bahwa yang dimaksud sustainable development dalam kontek pariwisata adalah:

“...tourism which is developed and maintened in an area (community, environment) in such a manner and at such a scale that it remains viable over an indefinite period and does not degrade or alter the environment (human and physical) in whict it exist to such a degree that it prohibits the successful developmnt and well-being of other activities and prosses...”(Nelson, Butles and Wall, 1993:3)

Sangat disayangkan upaya pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai kawasan wisata budaya yang dilakukan melalui revitalisasi belum sepenuhnya menggunakan paradigma baru tersebut. Selama ini pembangunan pariwisata lebih banyak berorientasi ke profit making dan telah banyak mengabaikan masalah lokal. Hal inilah yang memicu konflik kepentingan yang multi sektoral dan multi disiplin antar pihak-pihak yang berkepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan Semarang yang pada akhirnya menyebabkan munculnya beragam bentuk penolakan dari masyarakat setempat.

II. CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif sehingga metode penelitian yang digunakan cenderung ke induktif kualitatif. Objek penelitian adalah kepala keluarga yang lahir dan besar di lingkungan Pecinan Semarang serta menganut agama Tri Darma (sample purposive). Implikasi dari pemilihan informan ini peneliti tidak menentukan jumlah sampel terlebih dahulu. Sedang teknik perekaman data melalui wawancara mendalam, observasi dan foto-foto.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mencapai tujuan penelitian:

  1. Melakukan kajian pustaka (grand theory), sebagai background knowledge.
  2. Melakukan pengamatan menyeluruh terhadap untuk menemukan beberapa hal yang unik yang terkait dengan tujuan studi dan menemukan unit-Kasus.
  3. Melakukan pengamatan secara mendalam ke unit-unit amatan (kasus) untuk mencari unit-unit informasi;
  4. Melakukan pengamatan dan perekaman yang mendalam terhadap unit informasi yang disertai dengan kegiatan refleksi pada ada hari-hari biasa (kondisi normal) dan pada saat terjadinya acara seperti perayaan Po Seng Tay Te dan Sam Poo Tay, pasar Malam Implek, bazar makanan khas Semarangan dan perayaan King Ho Ping ;
  5. Melakukan wawancara dan perekaman mendalam terhadap unit-unit informasi yang berupa pemikiran-pemikiran atau pendapat individu dari masyarakat dan tokoh-tokoh yang dirujuk dari wawancara sebelumnya;
  6. Melakukan triagulasi untuk mendapatkan temuan yang kridible. Proses triangulasi yang peneliti lakukan diantaranya dengan triagulasi sumber, metode dan teori.
  7. Melakukan olah informasi dengan editing, koding, dan tabulating dengan metode/pendekatan memotong dan memasukkan (cut and fill).
  8. Melakukan pengelompokan informasi yang mirip atau saling berhubungan (kategorisasi) untuk memunculkan tema-tema. Sistem pengkatagorian yang peneliti lakukan adalah sistem emik (dikembangkan sendiri).
  9. Melakukan analisis hubungan antar tema untuk memunculkan konflik, bentuk penolakan dan alasan yang menyebabkan penolakan; Proses analisis tema-tema dan analisis hubungan antau tema di atas di kakukan melalui dua tahapan yaitu:
  10. Mengelompokan/mengkatagorisasikan kasus-kasus/topik-topik yang mirip (likely)untuk menemukan tema-tema yang sejenis dan saling berkaitan;
  11. Menggambarkan makna/arti/nilai di balik tema-tama yang ada.
  12. Mengelompokkan hasil-hasil analisis yang disusun dalam temuan studi sengan mengabstraksikan teme-tema menjadi konsep penolakan dan direduksi menjadi kesimpulan studi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Industri pariwisata merupakan keseluruhan rangkaian dari usaha penjualan barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisatawan sampai kembali ke tempat tujuan (Hari karyono, 1997: 24). Sebagai produk ekspor yang unik, sektor pariwisata membutuhkan biaya yang relative murah dibanding industri manufaktur dan pertanian yang sekaligus merupakan sumber devisa Negara.

Sebelum ada program revitalisasi sebagai kawasan wisata budaya, kawasan Pecinan semarang merupakan kawasan yang relatif tidak punya gaung, mengingat kawasan ini sudah lama ditinggalkan oleh sebagian penduduknya. Kawasan ini sering disebut orang sebagai kawasan tua (dihuni orang-orang yang berusia lanjut) dengan aktivitas perdagangan eceran dan grosir yang ralatif sepi.

Secara administratif kawasan Pecinan berada di kelurahan Kranggan, kecamatan Semarang Tengah. Kawasan ini memiliku luas kurang lebih 25 Ha dan secara fisik dibatasi oleh gang Lombok di bagian Utara, kali Semarang di bagian Timur dan Selatan, serta jalan Beteng di bagian Barat. Kawasan ini memiliki karakter yang cukup unik, dengan didominasi oleh rumah berbentuk rumah toko (shop house) dua lantai. Lantai pertama bangunan ini berfungsi sebagai tempat usaha dan lantai kedua untuk tempat tinggal. Jalan-jalan di kawasan ini merupakan ruang sisa bangunan yang perbandingan antar lebar dan tinggi (D/H) kurang dari satu, sehingga banyak ditemui lorong sempit. Selain itu banyaknya lahan tusuk sate juga membuat kawasan ini memiliki banyak klenteng di tiap ujung gang (lihat gambar 1 dan 2).

Jumlah penduduk di kawasan ini 5626 jiwa, 249 jiwa diantaranya adalah warga Negara asing. Penduduk kawasan ini mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha. Di kawasan inti penduduk masih banyak yang menganut agama Tri Dharma (gabungan agama/kepercayaan Budha, Tao dan Kong Hu Cu), walaupun sebagian masyarakat telah banyak beralih ke lima agama yang di akui oleh pemerintah Indonesia.

Adanya perubahan sikap pemerintah terhadap kaum Tionghoa pada era Gus Dur telah merubah image kawasan ini. Adanya tren pangsa pasar wisata Asia Timur Raya dan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan China untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata budaya, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah dengan menyusun rencana tindakan untuk menjadikan kawasan Pecinan Semarang sebagai Kawasan Wisata Budaya telah banyak merubah citra kawasan ini. Sangat disayangkan orientasi untuk menciptakan keuntungan (profit making) dari pemerintah daerah dalam mencetak PAD (Pendapatan Asli Daerah) serta ketidak siapan pelaku pembangunan di sektor ini pada akhirnya banyak memicu timbulnya beragam konflik kepentingn dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.

3.1. Konflik Kepentingan

Pariwisata perupakan salah satu bentuk industri yang akhir-akhir ini dituding sebagai penyebab adanya degradasi lingkungan dan budaya. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan memang bukan hal gampang untuk diterapkan walaupun paradikma ini sudah muncul dari decade 90-an. Orientasi profit making dari pemerintah daerah dalam mencetak PAD (pendapatan Asli Daerah) masih sangat dominan dan telah menimbulkan muncuknya berbagai konflik kepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan Semarang.

Bila dicermati lebih dalam, dalam konflik kepentingan ini melibatkan beberapa pihak yang multi sektoral dan instansional seperti:

  • Keinginan masyarakat setempat untuk menjaga kesatuan dan ketentraman di lingkungan Pecinan yang telah tercipta, serta mencegah timbulnya kerusuhan ras. Hal ini mereka lakukan mengingat mereka merupakan golongan minoritas yang selalu mendapat masalah. Mereka juga ingin berperan serta dalam pembangunan bukan hanya sebagai penonton yang tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan;
  • Keinginan pebisnis lokal untuk meningkatkan taraf hidup dan perbaikan kondisi lingkungan usaha dan meningkatkan keuntungan dari upaya revialisasi;
  • LSM (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) yang berusaha melindungi masyarakat terhadap upaya ekploitasi/over commercializes dan mengangkat hak masyarakat sebagai bagian dari warga Indonesia;
  • Investor/pengembang yang terkait dengan industri pariwisata yang hanya berorientasi pada provit making;
  • Donatur pribadi yang kembali menginginkan klenteng marganya menjadi lebih besar, karena klenteng juga merupakan simbol kebesaran dan keberhasilan marga;
  • Pemerintah, baik pemerintah propinsi (melalui Disparta) maupun pemerintah Kota Semarang yang lebih berorientasi pada PAD tanpa diimbangi dengan konsep, strategi pembangunan dan implementasi yang jelas;
  • Kelompok masyarakat adat (sesepuh dan pemuka agama Tri Dharma) yang menolak komersialisasi perayaan agama (ritus) karena mengganggu ibadah mereka dan mengurangi makna kesakralan karena ritual cenderung menjadi mekanistis;
  • Serta kepentingan masyarakat lain kawasan yang haus akan hiburan.


3.2. Bentuk Penolakan

Dari hasil penelitian kami, berbagai konflik yang muncul akibat pengembangan aktivitas baru yang kurang mempertimbangkan permasalahan dan kearifan lokal, telah menyebabkan munculnya permasalahan baru seperti kemacetan, hilangnya rasa nyaman, terganggunya aktivitas perekonomian masyarakat, perpecahan di dalam masyarakat serta hilangnya makna sakral dari ritus perayan keagamaan. Hal inilah yang kemudin menyebabkan penolakan warga terhadap implementasi kebijakan dan program revitalisasi kawasan sebagai kawasan wisata budaya. Penolakan masyarakat Pecinan ini diantaranya diungkapkan dalam bentuk:

  • Kompromi dengan revitalisasi. Bentuk kompromi ini dengan syarat bahwa revitalisasi kawasan bukan untuk mengembangkan kawasan sebagai kawasan wisata budaya tetapi untuk perbaikan lingkungan karena hal ini dinilai lebih aman.
  • Diam baik acuh tak acuh terhadap kebijakan dan program pemerintah mau pun diam dengan perasaan marah. Sikap ini diambil sebagai salah satu ungkapan toleransi warga Pecinan terhadap program pemerintah.
  • Protes melalui jalur formal, di rapat-rapat kelurahan dan merencankan demonstrasi dan pemblokiran untuk pelaksanaan event di tahun mendatang jika protes secara formal ini tidak mendapat tanggapan, karena warga merasa sudah benar-benar dirugikan dan dilecehkan.
  • Tidak mengikuti anjuran pemerintah terutama dalam tata cara, pembangunan, penataan dan pemanfaatan bangunan klenteng.
  • Bertahan dengan menciptakan penghalang yang bersifat tempotal (seperti peletakan kursi, bangku dan pot bunga) atau dengan cara permanen (membangun pagar pembatas). Lihat gambar
  • Menulis berbagai protes memalui penulisan berita dan artikel di beberapa media surat kabar nasional, majalah popular serta menulis surat protes secara resmi ke Pemerintah Kota Semarang.
  • Mengajukan surat penolakan/protes ke pemerintah secara bersama-sama yang ditandatangani oleh semua warga yang mengatas namakan warga yang peduli lingkungan dalam satuan RT.

3.3. Penyebab Konflik dan Alasan Penolakan

Penyebab konflik dan penolakan warga terhadap kebijakan dan program pengembangan kwasan sebagai kawasan wisata budaya Pecinan. Penyebab utama munculnya konflik kepentingan di kawasan wisata budaya Pecinan dari penelitian yang kami lakukan adalah:

  • Pariwisata di Pecinan telah berkembang sebagai komoditias yang prospektif untuk memberikan keuntungan ekonomi yang amat besar bagi beberapa pihak tertentu. Keuntungan financial ini dinikmati pertama oleh pengusaha pariwisata dan kedua oleh pemerintah daerah baik resmi sebagai lembaga atau secara tidak resmi oleh unsur pribadi. Pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah dalam kasus ini memiliki kesamaan kepentingan sehingga menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi (keuntungan financial) yang bersifat jangka pendek.
  • Adanya perbedaan visi atau tidak adanya pemahaman terhadap kondisi lokal, tidak adanya komunikasi yang baik dari masing-masing stakeholder/koordinasi yang buruk, tidak adanya upaya implementasi program dan kebijakan dari pemerintah yang baik yang disertai dengan upaya monitoring di lapangan, sulitnya masyarakat setempat beradaptasi dengan perubahan setelah 32 tahun terkekang oleh beragam pembatasan dari pemerintah orde lama;
  • Pengalaman masa lalu masyarakat Pecinan yang sangat berpengaruh pada perilaku yang apatis warga masyarakat Pecinan. Pada jaman Orde Lama, banyak warga keturunan Cina yang dikatakan sebagai pendukung aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada waktu itu pula hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI, rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Larangan ini diwujudkan dengan di leluarkannya Inpres 14 th 1967 (lampiran 1: agama, kepercayaan dan adat istiadat cina), Surat Edaran no. 06/Preskab/6/67 (perubahan nama), Keputusan Mentri Perdagangan dan Koperasi no. 286/KP/XII/1978 (larangan penggunaan bahasa Cina, Pendirian Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yag menjadi bagian dari Badan koordinasi Intlejen (Bakin). Dengan berbagai aturan tersebut maka masyarakat Cina:

- Tidak boleh menyelenggarakan kegiatan keagamaan atau menjalankan ritual dan

tradisi yang berbau Cina termasuk mengganti nama dan menggunakan istilah

asing untuk promosi;

- Tidak boleh berperan dalam bidang apapun kecuali ekonomi;

- Boleh mengadakan upacara tetapi dengan cara membayar ke Pak Harto;

- Mengurus apapun secara benar (terutama bayar pajak) dipersulit dan hanya bisa

diselesaikan dengan memberi uang;

- Pengurusan KTP harus menggunakan SKBRI walau pun oleh ibu Mega sudah di

cabut.

  • Terganggunya aktivitas sehari-hari, perekonomian dan aktivitas ritual asyarakat setempat karena seluruh ruang jalan utama dimanfaatkan untuk aktivitas baru walau pun bersifat temporal.
  • Adanya degradasi nilai-nilai sosial budaya lokal dan norma agama yang bersifat jangka panjang akibat dikomersialkannya aktivitas ritual. Hal ini juga yang memicu munculnya budaya instant yang banyak ditentang oleh tokoh agama karena mengurangi makna kesakralan. Sehingga muncul anggapan yang jelas diburamkan dan yang buram dijelaskan karena kepentingan ekonomi;
  • Kegiatan periwisata yang dikembangkan bukan untuk mensejahterakan masyarakat lokal karena belum sepenuhnya mengikutsertakan masyarakat (sebatas pemberitahuan).
  • Adanya kekhawatiran warga setempat bahwa revitalisasi kawasan sebagai kawasan wisata budaya akan menimbulkan perpecahan karena kondisi/iklim politik yang tidak memungkinkan di Indonesia.

IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dalam konflik kepentingan yang terjadi pada kasus di Pecinan Semarang atau pun pada konflik yang pernah terjadi maupun yang akan terjadi, yang jelas selama ini konsep pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata sering memicu konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan baik institusional maupun sektoral. Dampak yang paling jelas dari adanya konflik tersebut adalah banyak dirugikannya masyarakat lokal sehingga reaksi-reaksi negative yang berupa penolakan masyarakat terhadap kebijakan dan program sering terjadi.

Hal penting yang dapat diambil hikmahnya dari konflik kepentingan tersebut adalah adanya kesamaan keinginan semua pihak bahwa pembangunan dalam bentuk apapun harus memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masa depan dan bagi semua pihak. Di era Otonomi Daerah, pemerintah lokal harus mampu berberan sebagai fasilitator bersama-sama masyarakat dan mengusaha dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan penentuan bidang apa yang memungkinkan untuk dikembangkan tanpa saling merugikan (pengambilan keputusan).

Siapa yang bertanggung jawab atas terselesainya konflik tersebut secara bijaksana dan siapa yang mengendalikan pembangunan kawasan sebagai kawasan wisata budaya secara berlanjut? Yang jelas jika konflik tersebut dibiarkan dan persoalan tidak ditanggulangi dikhawatirkan perkembangan wisata di Semarang khususnya dan di Indonesia pada umumnya akan menjadi penghacur pariwisata itu sendiri.

4.2. Rekomendasi

Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam upaya menghindari konflk pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai kawasan wisata budaya antara lain:

  • Dalam proses implementasi hendaknya melibatkan peran serta masyarakat. Peran masyarakat ini sangat dibutuhkan karena dalam implementasi kebijakan dan program memerlukan pemahaman terhadap kondisi lokal, komunikasi dan koordinasi yang jelas, perkiraan/penaksiran tentang dampak yang ada, monitoring yang baik dalam implementasi dan adaptasi terhadap perubahan.
  • Dalam konsep atau proses pemikiran dan pembuatan keputusan tentang perubahan yang terjadi dalam kepariwisataan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta dalam implementasi kebijakan dan program memerlukan adanya pemahaman (understanding) terhadap kondisi lokal, adanya komunikasi (komunicating) dan koordinasi yang jelas antar stakeholder, perkiraan/penaksiran (assessing) tentang dampak yang ada, monitoring yang baik dalam implementasi dan adaptasi terhadap perubahan. Keseluruan konsep adau proses ini tidak bisa dilihat sebagai tahapan tang terpisah-pisah, tetapi lebih pada interaksi yang sangat kuat antar yang satu dengan yang lain.
  • Dalam setiap upaya mengembangan aktivitas baru yang cangkokkan dari tradisi masyarakat jangan hanya mempertimbangkan kelayakan teknis, financial, ekonomi dan administrative tetapi kelayakan sosial dan budaya juga sangat dibutuhkan, sehingga konflik antar stakeholder bisa diperkecil.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C., 2002, “Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif”, Dunia Pustaka Jaya, Bandung.

Ardiwidjaja, 2005, Ekowisata Solusi Konflik Pembangiunan di Lembang, Mungkinkah?”, Lembaga Studi Pariwisata Indonesia.

Bell, A., Paul, G., Fisher, TC., Jeffery D., and Baum, A., 2001. “Environmental Psychology”, 5ed., Harcourt college Publishers, Orlando.

Bulkis, S., Amrullah., dan Fatmawati., 2002, “Perumusan Program”, Pusat Studi Kebijakan dan Menejemen Pembangunan, Universitas Hasanudin.

Darma, R., 2002, “Proses Perumusan Kebijakan”, Pusat Studi Kebijakan dan Menejemen Pembangunan, Universitas Hasanudin.

Dinas Pariwisata Jawa Tengah ,1994, “Arahan Desain Kawasan Wisata Pecinan Semarang”.

Hariadi., dan Setiawan, B., 1995, “Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Pusat Studi Lingkungan”, Dikti, Jakarta.

Hari, K.,1997, “Kepariwisataan”, Jakarta, Gramedia;

Kerr, J.H., dan Tacon, P., 1999, “Phychological Respones to Different Type of Location and Activity”, Journal of Environmental Psychology. No.19: 287-294.

Mazmanian, D.A., dan Sabatier, P.A., 1983, “Implementation and Public Policy”, Scaott, Foresman and Company, London.

Mitchel, B., Setiawan, B., dan Rahmi, D.H., 2000, “Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan”. Gama Univ. Press, Yogyakarta.

Muhadjir, Noeng., 2000, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Rake Sarasih, Yogyakarta.

173

Muhammad, Djawahir., 1996, “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan”. Aktor Studio, Semarang.

Nelson, B., dan Wall, 1993, “Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing”, Department of Geography University of Waterloo.

Oelofse, Catherine., dan Dodson, Belinda., 1997, “Community, Place and Transformation: a Perceptual Analysis of Residents’ Responses to an Informal Settlement in Hout Bay South Africa”. Geoforum Journal, Vol.28. No. 1:91-101.

Onyebueke, V.U., 2001, “Denied Reality, Retarded Perception or Inaction?” Cities, Vol. 18. No. 6: 491-423.

Patton, C.V., and Sawicki, D.S., 1986, “Basic Methods of Policy Analysis and Planning”, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Sudarman, D., 2002, “Menjadi Peneliti Kualitatif”, Pustaka Setia, Bandung.

Sudaryono, S., 2003, “Metode Deduktif dan Induktif dalam Penelitian Arsitektur, Workshop of Architecture Research Method and Implementation, Diponegoro University, Semarang.

Unesco, 1975, “The Renewal of Historic Town Centres in Nine European Countries (France, Great Britain, Italy, The Netherland, Poland, Austria, CSSR, Hunggary, Switzerland)”, Jerman Ministry.

Yovita A., 2002, “Wisata Pecinan Semarang”, Kompas: Sabtu, 9 November 2002.

Yovita A., 2004, Revitalisasi Kawasan Pecinan Semarang”, Kompas: Jumat, 06 Februari 2004.

2 komentar:

Cece dan jamilla lagi

Status YM Status YM